Ketika mulut tak bisa berkata, maka kuungkapkan semua dalam rangkaian kata

Selasa, 30 Juni 2015

Surat untuk Sahabatku

Halo, untuk yang kesekian kalinya.
Apa kau menghitung berapa banyak surat yang kutulis dan kukirimkan untukmu? Ya, jelas aku menghitungnya. 59 surat, dan ini adalah suratku yang 60. Aku heran, kuat sekali hatimu itu sampai-sampai tak mau membalas ke-59 suratku yang lain. Oh, tenang. Aku pun tidak mengharapkan balasan suratmu kali ini. Aku kenal baik bagaimana keras kepalanya kau. 

Oke, cukup sudah tentang surat-surat bodoh ini. Bagaimana kabarmu? Masih memetik gitar bututmu itu? Hahaha..bercanda. Aku masih ingat kok gitar usangmu itu adalah pemberian turun temurun dari keluargamu. Aku--ini serius--berharap kau baik-baik saja dan makin memukauku dengan gitarmu itu.

Ngomong-ngomong, sebenarnya surat yang kutulis kali ini punya maksud, yang jelas bukan dengan maksud membayang-bayangimu dengan keadaanku dan keluhan-keluhan dalam hidupku--walau kali ini masih tentang aku; dan kita. Kau tahu, aku mulai muak menulis surat-surat bodoh itu dan berpura-pura tidak pernah ada suatu hal pun yang terjadi di antara kita, padahal berbagai jenis pertanyaan telah bersarang di benakku. Kali ini, aku ingin membereskannya, kawan.

Maaf, beribu maaf kuucapkan padamu. Hanya itu yang bisa aku sampaikan, walau aku tahu itu tak akan pernah bisa mengobati rasa sakit hatimu akan kejadian itu, iya kan?

Apa kau masih ingat? Saat itu, di malam kita pulang dari bioskop, kau menyentuhkan bibirmu pada bibirku, lalu kau selipkan kata 'Aku mencintaimu' di dalamnya. Wanita mana yang tak kaget saat seorang pria tiba-tiba melakukan itu? Aku pun kaget setengah mati, dan tak ada yang bisa aku lakukan selain diam seperti patung di taman depan rumahmu.

Sejujurnya, saat itu aku tak pernah memikirkan untuk melangkah lebih. Kau tahu sendiri, kita telah bersama selama lebih dari 10 tahun, bahkan sudah lebih jika dibatasi kata "sahabat", dan aku tak mau mengambil resiko menghancurkan kebersamaan kita.

Maaf, sekali lagi kukatakan maaf, terutama untuk tanganku yang tiba-tiba melayang ke pipimu saat itu. Tidak hanya kau saja, aku pun tak mengira aku mampu melakukan itu. Bunyi tamparan itu pun masih terus terngiang-ngiang di telingaku sampai saat ini.

Ya, semenjak kejadian itu keadaan berubah. Aku mulai menjaga jarak denganmu, merasa canggung saat berada di dekatmu. Semakin kau meyakinkanku, semakin keras pula aku menentangnya. 
"Aku ingin kau pergi dari kehidupanku."
"Aku tidak berharap dirimu menjadi temanku."
"Aku tidak membutuhkanmu." 
Oh, jelas aku ingat. Kata-kata bodoh itu keluar begitu saja dari mulutku ini.
Mungkin itu salah satu alasan kau menghilang dan tidak pernah membalas surat-suratku, kan? Aku sadar itu kok.

Tapi kali ini, demi menyelesaikan masalah diantara kita, aku akan berkata jujur padamu. Sesungguhnya, semua yang aku ucapkan di hari itu adalah sebuah kebohongan besar. Semenjak kau membalikan badanmu dan meninggalkanku di belakangmu, ada hal aneh yang aku rasakan. Saat itu juga, aku sadar dan mengakui bahwa ada perasaan yang  tumbuh dalam hatiku untukmu. Egoku tapi tetap bersikeras, aku tak mau kehilanganmu sebagai seorang sahabat. Ah, tapi semua sudah berlalu, iya kan? Kita tak bisa memutar waktu dan mengulangi kejadian yang sama.

Aku tahu, mungkin saat ini, setelah kau membaca surat bodohku yang ke-60 ini, kau akan menyebutku orang plin-plan, pembohong, atau orang yang mempermainkan hatimu. Tapi sebenarnya tidak, aku sungguh-sungguh memerlukanmu dalam hidupku.

Maaf untuk kesekian kalinya, aku tidak bermaksud membuatmu mengorek kenangan--yang menurutmu pasti sangat pahit--ini. Aku hanya ingin kau tahu, aku tidak sepenuhnya tangguh saat aku kehilanganmu. Aku membutuhkanmu untuk melengkapi kebahagiaan dalam hidupku. Itu saja.

Oya, sebelum aku lupa, maukah kau memaafkanku? Melupakan semua masa lalu kita dan memulainya dari awal, seperti "Hai, namaku Elsa. Ayo kita berteman?". Oh, ya. Aku mengenalmu dengan baik. Kau pasti akan memaafkanku kan?

Setelah kau membaca surat ini, aku tahu kau--jika aku memang benar--akan langsung menghubungi stasiun terdekat dan memesan tiket ke rumahku. Hahaha..tidak perlu repot-repot! Aku melampirkan undangan pernikahanku bersamaan dengan surat ini. Apa aku sudah menceritakannya padamu bahwa aku akan menikah? Ah, entahlah. Yang pasti, datanglah saat itu. Acaranya digelar minggu depan (kalau memang suratku datang tepat pada waktunya). Eh, tidak. Aku, ayah dan ibu, dan calon suamiku tentunya, memaksamu untuk datang. Jangan lupa memberiku amplop yang tebal ya! Hahaha..



Dari orang yang tak bisa hidup tanpa sahabatnya,


Sahabatmu.