Sabtu, 25 Juli 2015
Superman
Rabu, 01 Juli 2015
Keajaiban Cinta dari Setengah Cangkir Kopi Pahit
Sebuah bar tua kali ini menjadi tempat pertemuan antara aku dan Jack, kawan baruku. Kemarin setelah kami membahas talkshow yang diadakan beberapa hari yang lalu oleh Suzzane Collins, Jack tak sengaja meninggalkan dompetnya di apartemenku. Awalnya Jack mau mengambilnya ke apartemenku, tapi kupikir lebih baik kami bertemu, sekaligus menghilangkan kepenatan yang terus kukurung dalam apartemenku.
Sesampainya di bar ini, mataku mencari-cari Jack di keramaian. Karena tidak melihat sosoknya, aku duduk di hadapan bartender, berharap dia akan mengajakku bicara. Aku benci ketika aku harus duduk sendiri menunggu seseorang tanpa melakukan apapun. Tapi ternyata harapan hanyalah harapan, si bartender yang umurnya kira-kira tiga puluhan itu sibuk dengan pelanggannya.
Padahal baru lima menit berlalu sejak aku sampai disini, tapi sudah terasa tiga puluh menit. Tingkat kebosananku mulai di tahap akhir, aku perlu melakukan sesuatu!
"Bolehkah saya duduk disebelah Anda?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sukses menyadarkanku dari lamunanku--dan kebosananku tentunya.
"Oh ya, silahkan, Tuan," sambutku ramah.
Aku mengetuk-ngetukan jariku, berharap Jack segera datang. Tidak biasanya dia datang terlambat selama ini.
"Ini pesananmu, Tuan Hamish. Setengah cangkir kopi pahit," kata si bartender sambil menyodorkan sebuah cangkir putih di hadapan lelaki itu.
"Ah, terima kasih, Philip," jawabnya.
"Setengah cangkir?" tanyaku tiba-tiba, tak bisa menutupi keanehanku karena melihatnya memesan setengah cangkir kopi tersebut.
Pria itu tertawa, tapi dengan tawa yang agak miris.
"Setengah cangkir kopi pahit itu punya kenangan tersendiri bagi saya, Tuan," matanya menerawang, mengisyaratkan kepedihan akan kenangan dari kopi tersebut.
Tuan Hamish pun perlahan-lahan mulai bercerita. Sekitar 30 tahun yang lalu, ia bertemu seorang wanita di bar ini. Wanita itu tak begitu cantik, tapi jika aku menjadi dirinya, pasti aku akan terpikat--begitu katanya. Keanggunan, tawa, dan setiap hal yang ada dalam diri si wanita mampu membuat jantungnya berdebar dan membuat angan untuk memiliki si wanita semakin melambung.
Selanjutnya, Tuan Hamish bercerita tentang keluguannya mengajak si wanita itu berkenalan, tentu saja setelah mereka beberapa kali bertemu. Wanita itu agak kaget melihat Tuan Hamish menjulurkan tangannya dan memintanya berkenalan, karena selama ini yang ia tahu, Tuan Hamish hanya mampu memandanginya dari jauh.
Si wanita menyambut uluran tangan Tuan Hamish dengan hangat, tapi sayangnya wanita itu hanya tersenyum, tanpa berkata apa-apa. Setelah kecanggungan yang terjadi, Tuan Hamish berniat untuk kembali. Tapi, kemujuran ada di pihaknya. Ia melihat setengah cangkir kopi di atas meja si wanita. Dengan agak malu, Tuan Hamish mulai bertanya tentang kopi itu. Ternyata, wanita itu tidak mampu meminum secangkir kopi sisanya sendirian.
Tuan Hamish tidak bertanya lebih jauh, ia hanya melihatnya sebagai kesempatan bagus untuk berbasa basi. Tanpa malu, ia pun duduk di depan wanita itu dan meminum setengah cangkir kopi yang tersisa. Akibat terlalu gugup, Tuan Hamish menegukan semuanya, tanpa sadar itu adalah kopi pahit. Si wanita pun tertawa geli melihat keluguan Tuan Hamish. Semenjak hal itu, mereka selalu bertemu di bar ini dan memesan satu gelas kopi pahit.
"Lalu, kali ini kenapa Anda memesan kopi itu setengah?" tanyaku, agak penasaran.
Matanya kembali menunjukan kepedihan, bahkan kali ini disertai genangan airmata di mata birunya itu.
"Ya, karena aku sudah tidak bisa bersamanya lagi. Aku meninggalkannya setelah lima tahun pernikahan kami. Aku tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami, apalagi ditambah dengan seorang anak lelaki," ia menghembuskan nafas panjang, menutup matanya dan mulai mengepalkan kedua tangannya, pertanda berbagai emosi tengah berkecamuk dalam hatinya. "Oh, andaikan aku mampu membalikkan waktu. Sekarang aku tidak mampu menemukan keluargaku dimanapun," lanjutnya.
Detik berikutnya, Tuan Hamish bergeming. Ia mulai menegukan seluruh kopi pahit di dalam cangkir itu, seakan berharap seluruh kepahitan hidupnya bisa ia telan dan sirna. Matanya menerawang lagi, menghembuskan nafas, dan tersenyum. Ia menatapku dan berterima kasih telah mendengarkan ceritaku.
Sesaat setelah Tuan Hamish pergi, titik-titik hujan mulai berjatuhan, seakan mereka ikut bersedih mendengar kisah Tuan Hamish. Mungkin, hujan itu ingin menyamarkan airmata penyesalan yang turun dari mata teduh Tuan Hamish.
Setelah kepergian Tuan Hamish, tak berapa lama Jack masuk dari pintu, sambil mengusap-ngusap rambutnya yang basah.
"Oh, Jacob. Maafkan saya membuatmu menunggu lama. Lift di apartemen saya tadi mati dan saya terjebak di dalamnya," kata Jack sambil terengah-engah.
"Oh tidak masalah, Jack. Tadi aku baru saja ditemani seseorang untuk berbincang,"
"Oya? Siapa dia? Seseorang yang Anda kenal?" tanyanya sambil mulai mengambil tempat di sebelahku.
"Namanya Tuan Hamish. Oh, Jack kau harus mendengarkan kisahnya. Tadi dia..."
"Siapa katamu tadi?" Jack setengah berteriak, sukses membuat jantungku hampir loncat.
"Hmm...Tuan Hamish, Jack. Dia baru saja pergi, tidak lama sebelum Anda datang. Apa Anda mengenalnya?"
"Kemana dia pergi sekarang?" tanyanya lagi, mengacuhkan pertanyaanku.
"Entahlah, dia tidak bilang apa-apa. Sepertinya mengarah ke Town Square," kataku agak bingung.
Jack pun menghambur keluar. Ia berlari, tak peduli bahwa hujan deras sedang membasahi tubuhnya saat ini.
"Jack, tunggu!" teriakku, sambil meraih dompetnya yang sedari tadi aku taruh di meja. Saat aku mulai melangkahkan kakiku, dompet Jack terjatuh. Dompet itu terbuka, memperlihatkan sebuah foto keluarga di dalamnya. Tunggu! Ini kan Tuan Hamish? Kenapa foto Tuan Hamish ada di.... Ah! Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang? Nama Jack kan Jack Hamish! Dia pasti anak dari Tuan Hamish!
Tanpar berpikir panjang, aku mulai mengejar Jack. Dia berlari cukup kencang, membuatku tak sanggup mengejarnya di tengah derasnya hujan ini. Setelah berlari cukup jauh, Jack berhenti. Kakiku pun ikut berhenti, padahal jarak aku dan Jack masih beberapa meter lagi. Aku melihat Jack memeluk Tuan Hamish, sangat dekap. Mereka mulai menangis--mungkin. Entahlah, hujan membuat pandanganku kabur. Aku pun tidak mendengar apa-apa dari mereka selain kata 'ayah' dan 'maafkan aku'.
Sekarang aku mulai sadar apa yang terjadi. Aku mulai melangkah menjauh, tak ingin merusak momen bahagia mereka. Mungkinkah ini kemujuran Tuan Hamish lagi ataukah...keajaiban cinta dari setengah cangkir kopi pahit?