Ketika mulut tak bisa berkata, maka kuungkapkan semua dalam rangkaian kata

Sabtu, 25 Juli 2015

Superman

Saya tidak pernah melihat seseorang segila ini menunggu hal yang tidak mungkin. Superman katanya?

Pertama kali saya bertemu dengannya adalah ketika saya berjalan di sebuah trotoar depan apartemennya. Wanita aneh, sebut saya. Kala itu dia sedang duduk terdiam di tangga pintu masuk apartemennya. Matanya terus memandang ke jalan, seperti sedang menghitung jumlah mobil yang lewat. Dia juga membuat bisikan-bisikan aneh dan bahkan sesekali ia tersenyum. Saya agak takut ketika saya melewatinya. Apa dia waras? Apa dia seorang penyihir jahat? Entahlah, terlalu banyak rahasia yang tak saya ketahui di dunia ini.

Satu kali, saya perlu ke toko bunga didekat apartemen si wanita aneh. Sesampainya saya di depan toko bunga itu, lagi-lagi wanita itu menarik perhatian saya. Saya melihat wanita itu selalu duduk di tempat yang sama. Kali ini dia memandangi langit biru, mulutnya bergerak-gerak seperti sedang berbincang dengan seseorang. Tiba-tiba senyumnya mengembang, tapi raut mukanya tidak menunjukan sebuah kebahagiaan. Jujur saja, saya selalu terpikat oleh senyumnya, tapi bukan dengan raut muka itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" seorang lelaki paruh baya berdiri di depan saya dan sukses membuat jantung saya hampir copot. 
"Ah, ya. Maaf, Tuan. Saya ingin membeli beberapa tangkai bunga mawar biru," jawab saya.
"Baiklah, Tuan. Tunggu sebentar," lelaki itu pun masuk ke dalam tokonya.


Saya kembali melihat wanita itu. Dia masih terduduk di tempat yang sama, masih memandangi langit biru yang sama, tapi kali ini senyumnya telah pudar. Dia lalu menundukan kepalanya dan terdiam sejenak. Aneh, sungguh wanita yang aneh. Hanya dalam sekejap saja ekspresi wanita itu bisa berubah drastis.

"Apa Anda tertarik dengan wanita itu, Tuan?" tanya lelaki tukang bunga itu, yang lagi-lagi sukses membuat jantung saya hampir copot untuk yang kedua kalinya.
"Ah tidak, Tuan. Saya hanya saja baru kali ini memperhatikan wanita aneh itu," jawab saya sambil pura-pura menarik dompet dari saku jaket saya; menutupi kekagetan saya.
"Oh tidak, Tuan. Dia bukan wanita aneh. Dia sebenarnya wanita yang baik, sangat baik malah. Dia hanya saja sedang menunggu Superman-nya datang,"


Apa? Tunggu. Menunggu Superman? Apa Superman yang dia maksud adalah tokoh fiksi dengan jubah merah yang bisa terbang itu?

"Superman? Anda yakin, Tuan?" tanya saya heran sekaligus penasaran.
"Ya, itu yang dia katakan. Ketika saya pertama kali bertemu dengannya pun saya sama kagetnya dengan Anda. Setiap kali saya menanyakan apa yang dia lakukan di depan apartemennya, dia selalu menjawab dengan jawaban yang sama, menunggu Superman," jawab lelaki itu sambil menyerahkan bunga mawar yang tadi saya pesan.
"Lalu, apa Superman-nya itu benar-benar ada?" tanya saya lagi, semakin penasaran. 
"Saya tidak tahu, Tuan. Saya tidak pernah melihatnya dan tidak mungkin melihatnya. Wanita itu mengatakan pada saya bahwa Superman-nya hanya datang ketika saya membutuhkan bantuan. Tapi selama ini saya butuh bantuan, tidak pernah ada Superman yang datang. Banyak orang bilang wanita itu memang agak tidak waras. Tapi ada juga yang mengatakan dia adalah seorang malaikat. Entahlah, Tuan. Tapi jika memang Anda penasaran, Anda tanya saja padanya."


Lelaki itu pun masuk lagi ke dalam tokonya setelah saya memberikan 3 lembar uang dolar padanya. Saya bukan penikmat cerita fiksi, tapi saya agak penasaran dengan wanita ini. Caranya tersenyum seolah mengatakan memang dia melihat sang Superman.

Saya sengaja berjalan di trotoar seberang apartemennya, sambil sesekali memerhatikan wanita itu. Wanita itu hanya duduk, melamun mungkin. Dan bodohnya, saya malah memperhatikan wanita itu, bukan memperhatikan jalan di depan saya. Tepat di seberang wanita itu, saya tersandung lubang kecil di jalan itu dan terjatuh. Mawar yang baru saya beli terlempar dan berserakan dimana-mana, bahkan beberapa kelopaknya rusak. Ah, sial sekali saya. Saya memunguti mawar saya sambil melihat ke arah wanita itu, tapi wanita itu ternyata sudah tidak ada di tempatnya.

"Sayang sekali mawar indah ini jadi rusak," seorang wanita manis berumur sekitar 20-an berjongkok di depan saya sambil memunguti mawar saya yang jatuh. Dan ya, itulah si wanita aneh yang sukses membuat saya terjengkal ke belakang. 
"Te..terima kasih," jawab saya terbata-bata, tidak bisa menutupi kekagetan saya.
"Lebih baik Anda berhati-hati, Tuan. Superman tidak akan membantu Anda ketika Anda terjatuh seperti ini. Dia hanya akan mengirimkan seseorang untuk menolong Anda," kata wanita itu lugu.
"Su...Superman?" tanya saya bingung, sama bingungnya ketika lelaki toko bunga itu menyebutkan nama yang sama.
"Ya, Superman. Dia akan datang ketika Anda ada dalam kesulitan. Saya sedang menunggunya memberikan pertolongan untuk saya," wanita itu kini berdiri setelah memunguti semua mawar saya yang jatuh.
"Entahlah, Nona. Saya bukan orang yang percaya akan hal-hal fiksi," jawab saya sambil ikut berdiri dan mengambil mawar dari genggaman wanita itu.
"Oh, Tuan. Siapa bilang itu hal-hal fiksi? Tentu tidak, Tuan. Dia memang ada. Dia selalu ada ketika kita membutuhkannya, hanya cukup dengan meminta," katanya lagi.


Oke, sudah cukup cerita fiksinya. Saya seharusnya capet-cepat pulang dan mengerjakan tugas-tugas kantor saya sebelum kegilaan ini mempengaruhi akal sehat saya.

"Baiklah, Nona. Jika suatu saat saya butuh bantuan, saya akan memanggil Superman Anda. Saya harap Superman akan mengakhiri penantian Anda dan Anda akan segera bertemu dengannya," lalu saya pergi meninggalkan wanita itu sendirian dan mengacuhkan pernyataan konyol lainnya.

Hari ini, setelah berminggu-minggu saya mengikuti pelatihan di luar negeri, saya akhirnya pulang. Sebagai pecinta tanaman, hal pertama yang terbersit dalam otak saya adalah balkon apartemen saya, tempat saya menanam beberapa tanaman hias dan bunga-bunga kesukaan saya. Berminggu-minggu saya tidak menyiramnya, beberapa tanaman saya layu, bahkan sampai kering. 

Mata saya pun tertuju pada mawar yang saya beli saat bertemu wanita itu. Anehnya, mawar itu adalah satu-satunya tanaman yang masih segar, padahal tanahnya sangat kering. Kelopak bunga itu pun masih lengkap dan masih harum, sama seperti ketika saya pertama kali membelinya.

Melihat keanehan ini, saya pun langsung menuju toko bunga tersebut sambil setengah berlari, berharap mendapat jawaban. Jangan-jangan bunga yang saya beli adalah bunga berkekuatan mistis.

"Permisi, Tuan," sapa saya pada lelaki tukang bunga tersebut.
"Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya hangat.
"Tuan, saya adalah pria yang membeli mawar beberapa minggu yang lalu. Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Oh ya, Tuan. Saya ingat Anda. Anda pria yang membeli beberapa mawar biru ya? Ah ya, Tuan. Saya jadi ingat, Angel menitipkan sebuah surat untuk Anda pada saya beberapa hari setelah Anda membeli mawar itu. Dia tahu Anda akan kembali ke sini jadi dia menitipkannya pada saya," 
"Angel? Siapa itu Angel?" tanya saya bingung. 
"Angel, wanita yang waktu itu Anda perhatikan. Wanita aneh kalau tidak salah kata Anda," jawab lelaki itu sambil menyodorkan suratnya.
"Ngomong-ngomong, apa yang Anda ingin tanyakan, Tuan?" lanjut pria itu.


Tanpa ingat alasan saya ke toko ini, saya langsung menerima surat itu dan membacanya; mengacuhkan lelaki tukang bunga tersebut. Surat itu ada dalam amplop kecil berwarna biru. Ketika saya membuka surat itu, tercium sedikit wangi mawar dari amplop tersebut.


Halo, Tuan Mawar.

Terima kasih telah mendoakan saya untuk bertemu sang Superman. Mungkin dalam beberapa jam kedepan setelah saya memberikan surat ini pada Tuan Robin, saya akan bertemu sang Superman. Seperti yang Anda katakan, penantian saya akan berakhir.
Sebenarnya, Tuan, saya menderita leukimia, dan ini adalah leukimia tahap akhir. Saya tidak memiliki banyak waktu untuk menikmati hidup, tapi saya tidak pernah menyesal atau mengeluh, Tuan. Toh bagi saya hidup adalah anugerah dan mati adalah sebuah keuntungan.
Seperti yang Anda tahu, Tuan, saya selalu duduk di tangga depan apartemen saya. Saya beberapa kali melihat Anda lewat, bahkan terkadang Anda memperhatikan saya. Tuan, terima kasih telah mau membuang waktu Anda untuk melihat dan memperhatikan saya.
Mungkin, atau tidak, entahlah, yang pasti saya hanya ingin Anda tahu. Di depan tangga itu saya selalu duduk, menghitung mobil-mobil yang melintas. Saya membuat berbagai keinginan dari mobil-mobil yang melintas itu, berharap mobil-mobil itu pergi menyampaikan keinginan saya pada Superman.
Oiya, saya juga sesekali melihat ke langit biru, Tuan, membayangkan bagaimana suasana surga nanti, apakah saya dan orang-orang yang memikirkan saya ditempatkan disana, atau apakah mungkin kita akan bertemu disana? Ah, tapi terlalu fiksi untuk Anda ya? Hahaha.
Bagaimana pun, terima kasih untuk segalanya, Tuan. Anda adalah salah satu orang yang dikirimkan sang Superman pada saya.

P.S: sebenarnya saat kita bertemu, saya ingin mengatakan ini: Halo, Tuan. Nama saya Angel. Bolehkah saya meminta mawar Anda? Tapi ternyata saya terlalu gugup dan malah mengagetkan Anda saat itu. Maafkan saya ya, Tuan!


Saya terdiam, tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan atau katakan. Segala kisahnya tentang Superman, tentang pernyataan konyolnya, semua terasa lengkap bagi saya. Saya kemudian membeli beberapa mawar biru. Saya berjalan ke arah tempat yang sama saat kami bertemu, dan meletakkan bunga itu di tempat wanita itu biasa duduk sambil membuat keinginan dari mobil-mobil yang lewat ataupun memandangi langit biru.

"Mawar yang indah, Tuan. Untuk apa Anda meletakannya disini?" seorang wanita berkulit agak coklat kini berdiri di samping saya, membuat saya kaget sampai sedikit melangkah ke belakang.
"Oh maaf, Tuan. Saya seorang turis disini, saya pikir ini adalah sebuah tradisi. Nama saya Cherubim. Panggil saja saya Rubi. Ngomong-ngomong, Tuan. Saya ingin sekali mawar biru itu. Bolehkah saya memintanya?"







Cerita ini saya buat berdasarkan inspirasi dari lagu Daughtry - Waiting for Superman

Rabu, 01 Juli 2015

Keajaiban Cinta dari Setengah Cangkir Kopi Pahit

Sebuah bar tua kali ini menjadi tempat pertemuan antara aku dan Jack, kawan baruku. Kemarin setelah kami membahas talkshow yang diadakan beberapa hari yang lalu oleh Suzzane Collins, Jack tak sengaja meninggalkan dompetnya di apartemenku. Awalnya Jack mau mengambilnya ke apartemenku, tapi kupikir lebih baik kami bertemu, sekaligus menghilangkan kepenatan yang terus kukurung dalam apartemenku.

Sesampainya di bar ini, mataku mencari-cari Jack di keramaian. Karena tidak melihat sosoknya, aku duduk di hadapan bartender, berharap dia akan mengajakku bicara. Aku benci ketika aku harus duduk sendiri menunggu seseorang tanpa melakukan apapun. Tapi ternyata harapan hanyalah harapan, si bartender yang umurnya kira-kira tiga puluhan itu sibuk dengan pelanggannya.

Padahal baru lima menit berlalu sejak aku sampai disini, tapi sudah terasa tiga puluh menit. Tingkat kebosananku mulai di tahap akhir, aku perlu melakukan sesuatu!

"Bolehkah saya duduk disebelah Anda?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sukses menyadarkanku dari lamunanku--dan kebosananku tentunya.
"Oh ya, silahkan, Tuan," sambutku ramah.

Aku mengetuk-ngetukan jariku, berharap Jack segera datang. Tidak biasanya dia datang terlambat selama ini.
"Ini pesananmu, Tuan Hamish. Setengah cangkir kopi pahit," kata si bartender sambil menyodorkan sebuah cangkir putih di hadapan lelaki itu.
"Ah, terima kasih, Philip," jawabnya.
"Setengah cangkir?" tanyaku tiba-tiba, tak bisa menutupi keanehanku karena melihatnya memesan setengah cangkir kopi tersebut.

Pria itu tertawa, tapi dengan tawa yang agak miris.
"Setengah cangkir kopi pahit itu punya kenangan tersendiri bagi saya, Tuan," matanya menerawang, mengisyaratkan kepedihan akan kenangan dari kopi tersebut.

Tuan Hamish pun perlahan-lahan mulai bercerita. Sekitar 30 tahun yang lalu, ia bertemu seorang wanita di bar ini. Wanita itu tak begitu cantik, tapi jika aku menjadi dirinya, pasti aku akan terpikat--begitu katanya. Keanggunan, tawa, dan setiap hal yang ada dalam diri si wanita mampu membuat jantungnya berdebar dan membuat angan untuk memiliki si wanita semakin melambung.

Selanjutnya, Tuan Hamish bercerita tentang keluguannya mengajak si wanita itu berkenalan, tentu saja setelah mereka beberapa kali bertemu. Wanita itu agak kaget melihat Tuan Hamish menjulurkan tangannya dan memintanya berkenalan, karena selama ini yang ia tahu, Tuan Hamish hanya mampu memandanginya dari jauh.

Si wanita menyambut uluran tangan Tuan Hamish dengan hangat, tapi sayangnya wanita itu hanya tersenyum, tanpa berkata apa-apa. Setelah kecanggungan yang terjadi, Tuan Hamish berniat untuk kembali. Tapi, kemujuran ada di pihaknya. Ia melihat setengah cangkir kopi di atas meja si wanita. Dengan agak malu, Tuan Hamish mulai bertanya tentang kopi itu. Ternyata, wanita itu tidak mampu meminum secangkir kopi sisanya sendirian.

Tuan Hamish tidak bertanya lebih jauh, ia hanya melihatnya sebagai kesempatan bagus untuk berbasa basi. Tanpa malu, ia pun duduk di depan wanita itu dan meminum setengah cangkir kopi yang tersisa. Akibat terlalu gugup, Tuan Hamish menegukan semuanya, tanpa sadar itu adalah kopi pahit. Si wanita pun tertawa geli melihat keluguan Tuan Hamish. Semenjak hal itu, mereka selalu bertemu di bar ini dan memesan satu gelas kopi pahit.

"Lalu, kali ini kenapa Anda memesan kopi itu setengah?" tanyaku, agak penasaran.
Matanya kembali menunjukan kepedihan, bahkan kali ini disertai genangan airmata di mata birunya itu.

"Ya, karena aku sudah tidak bisa bersamanya lagi. Aku meninggalkannya setelah lima tahun pernikahan kami. Aku tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami, apalagi ditambah dengan seorang anak lelaki," ia menghembuskan nafas panjang, menutup matanya dan mulai mengepalkan kedua tangannya, pertanda berbagai emosi tengah berkecamuk dalam hatinya. "Oh, andaikan aku mampu membalikkan waktu. Sekarang aku tidak mampu menemukan keluargaku dimanapun," lanjutnya.

Detik berikutnya, Tuan Hamish bergeming. Ia mulai menegukan seluruh kopi pahit di dalam cangkir itu, seakan berharap seluruh kepahitan hidupnya bisa ia telan dan sirna. Matanya menerawang lagi, menghembuskan nafas, dan tersenyum. Ia menatapku dan berterima kasih telah mendengarkan ceritaku.

Sesaat setelah Tuan Hamish pergi, titik-titik hujan mulai berjatuhan, seakan mereka ikut bersedih mendengar kisah Tuan Hamish. Mungkin, hujan itu ingin menyamarkan airmata penyesalan yang turun dari mata teduh Tuan Hamish.

Setelah kepergian Tuan Hamish, tak berapa lama Jack masuk dari pintu, sambil mengusap-ngusap rambutnya yang basah.

"Oh, Jacob. Maafkan saya membuatmu menunggu lama. Lift di apartemen saya tadi mati dan saya terjebak di dalamnya," kata Jack sambil terengah-engah.
"Oh tidak masalah, Jack. Tadi aku baru saja ditemani seseorang untuk berbincang,"
"Oya? Siapa dia? Seseorang yang Anda kenal?" tanyanya sambil mulai mengambil tempat di sebelahku.
"Namanya Tuan Hamish. Oh, Jack kau harus mendengarkan kisahnya. Tadi dia..."
"Siapa katamu tadi?" Jack setengah berteriak, sukses membuat jantungku hampir loncat.
"Hmm...Tuan Hamish, Jack. Dia baru saja pergi, tidak lama sebelum Anda datang. Apa Anda mengenalnya?"
"Kemana dia pergi sekarang?" tanyanya lagi, mengacuhkan pertanyaanku.
"Entahlah, dia tidak bilang apa-apa. Sepertinya mengarah ke Town Square," kataku agak bingung.

Jack pun menghambur keluar. Ia berlari, tak peduli bahwa hujan deras sedang membasahi tubuhnya saat ini.

"Jack, tunggu!" teriakku, sambil meraih dompetnya yang sedari tadi aku taruh di meja. Saat aku mulai melangkahkan kakiku, dompet Jack terjatuh. Dompet itu terbuka, memperlihatkan sebuah foto keluarga di dalamnya. Tunggu! Ini kan Tuan Hamish? Kenapa foto Tuan Hamish ada di.... Ah! Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang? Nama Jack kan Jack Hamish! Dia pasti anak dari Tuan Hamish!

Tanpar berpikir panjang, aku mulai mengejar Jack. Dia berlari cukup kencang, membuatku tak sanggup mengejarnya di tengah derasnya hujan ini. Setelah berlari cukup jauh, Jack berhenti. Kakiku pun ikut berhenti, padahal jarak aku dan Jack masih beberapa meter lagi. Aku melihat Jack memeluk Tuan Hamish, sangat dekap. Mereka mulai menangis--mungkin. Entahlah, hujan membuat pandanganku kabur. Aku pun tidak mendengar apa-apa dari mereka selain kata 'ayah' dan 'maafkan aku'.

Sekarang aku mulai sadar apa yang terjadi. Aku mulai melangkah menjauh, tak ingin merusak momen bahagia mereka. Mungkinkah ini kemujuran Tuan Hamish lagi ataukah...keajaiban cinta dari setengah cangkir kopi pahit?