Jumat, 18 September 2015
Hal Kecil yang Berarti
Senin, 14 September 2015
Pemain Sirkus
Hari ini tidak ada satupun acara televisi yang menurutku menarik. Semua saluran berita diisi dengan kasus kejahatan, saluran pengetahuan diisi dengan hal-hal biologis dan kimiawi yang saya kurang sukai. Sisanya, hanya saluran film-film cengeng dan gosip-gosip keartisan yang aku yakin itu hanya sesuatu yang mereka buat-buat agar rating mereka naik lagi.
Ketika aku mengubah-ngubah stasiun televisi, aku terhenti pada sebuah stasiun televisi yang tidak terlalu terkenal. Mereka sedang menyiarkan sebuah acara sirkus di negara-negara Eropa sana. Sesekali aku tercengang melihat kehebatan mereka terhadap atraksi-atraksinya dan tertawa kecil melihat kekonyolan para pemain sirkus itu.
Tiba-tiba, seorang penonton disorot di acara tersebut. Penonton itu sangat mirip dengan seseorang yang saya kenal. Seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dan memenuhi hatiku; sampai saat ini.
Aku kembali memfokuskan diriku untuk menonton sisa acara sirkus itu, tapi sosoknya kerap memenuhi pikiranku. Bayang-bayang kenangan mulai bermunculan dan membuat jantungku berdegup dengan kencang.
Acara sirkus itu kini menampilkan seorang badut, lengkap dengan hidung tomat merah, rambut keriting, dan perut besarnya. Semua penonton mulai tersenyum melihat betapa konyolnya pakaian badut itu. Tidak sampai disitu saja, badut itu kini menaiki tangga, dan berdiri di depan sebuah tali yang terbentang sekitar 8-10 meter di atas tanah. Semua penonton bertepuk tangan, dan tepuk tangan makin kencang ketika ia mulai melangkahkan kakinya di atas tali tersebut. Langkah pertama, ia terlihat begitu ragu. Tapi beberapa langkah selanjutnya, kepastian dan kepercayaan diri menghampirinya, bahkan ia beberapa kali berjalan mundur di atas tali tersebut.
Setelah setengah jalan, angin bertiup dengan kencang. Badut itu, tanpa memakai alat pengaman, mulai kehilangan keseimbangan. Tak berapa lama angin mulai berhembus lagi. Sangat jelas terlihat dibalik dandanan konyol si badut, ia sangat panik. Ia melangkah sekali lagi dan kali ini badut itu menyerah. Ia mulai berbalik arah seperti ingin kembali, tapi ketika ia membalikan badan, badut itu terjatuh. Lampu sorot pun dimatikan dan penonton tampak tak begitu terkesan lagi setelah badut itu terjatuh.
Kupikir, saat aku jatuh cinta padanya aku pun sama seperti badut itu. Aku ingat pertama kali aku bertemu dengannya, yaitu ketika teman-temanku mengajakku ke sebuah lapang futsal, melihat beberapa teman laki-lakiku bertanding. Aku, yang baru saja mengakhiri hubunganku dengan mantanku, hanya mengiyakan, sekaligus menghilangkan kepenatan pikirku.
Disaat itu juga aku melihat sosoknya berdiri di tengah lapang, lengkap dengan pakaian futsalnya. Entah hatiku yang baru kosong, atau hanya sebuah kekaguman belaka, tapi aku terpikat padanya. Tak berapa lama, seolah Tuhan memberikan jalanNya untukku, dia dan temannya menghampiri aku dan temanku yang terduduk di pinggir lapangan. Sejak saat itu, jantungku berdegup kencang jika ia ada di dekatku.
Aku tak yakin apa dia sadar atau tidak, tapi saat itu aku terlalu tegang dan tidak bisa berkata-kata dengan benar.
Hal-hal lainnya samar-samar teringat dalam benakku, tapi satu hal yang pasti: kami pernah sangat dekat. Dimulai dari tatapan yang terjadi di kantin sekolahku, sampai akhirnya kami menghabiskan akhir pekan, menonton di bioskop atau sekedar baca komik bersama.
Kedekatan kami mulai merenggang ketika dia, yang adalah kakak kelasku, lulus dari sekolah. Aku amat kehilangan, apalagi disaat dia telah menempati ruang istimewa di hatiku. Pesan singkat yang dulu selalu terjadi di antara kami kini mulai menjadi sebuah basa basi belaka.
Harapanku terhadapnya mulai pudar. Aku mulai ragu akan kelanjutan hubunganku dengannya. Sampai pada akhirnya dia mulai menghubungiku lagi, menanyakan bagaimana kabarku, studiku, keluargaku, dan hal-hal kecil lainnya. Hal kecil ini, hal yang selalu aku tunggu-tunggu ini, membuat hatiku seperti mau meledak.
Kupikir sebuah kata rindu akan tertulis pada pesan-pesan singkatnya padaku, tapi Tuhan berkata lain. Ternyata ia menghubungiku hanya untuk menanyakan bagaimana kabar temanku, yang sekarang merupakan kekasihnya. Awalnya aku tidak percaya, karena memang tidak ada gosip apapun, sampai aku melihat sendiri pesan-pesan yang ia kirimkan pada temanku itu. Kekecewaanku menjadi-jadi, dan saat itu juga aku mulai berhenti berkirim pesan singkat dengannya.
Aku memutuskan untuk menyerah, sama seperti badut yang merasa anginnya terlalu kencang untuk dilewati itu. Aku tidak mau menyakiti hatiku lebih dalam lagi. Jika badut itu terjatuh saat ia memilih jalan kembali, maka aku tidak akan melakukan hal yang sama. Aku tidak akan terjatuh, tapi aku bersumpah aku akan menjadi wanita yang lebih baik lagi dan membuat ia menyesal menghempaskanku begitu saja.
Saat ini aku masih berada di atas tali itu dan akan mencapai batas akhirku. Jika aku mencapai batas itu, itu berarti aku tidak akan melewati tali yang sama. Seberapa besarpun kekecewaan yang aku alami ini, aku tidak akan pernah memutus tali itu, dengan harapan kali ini ia yang akan melewati tali itu dan melangkah ke arahku.
Cause what we had is timeless, and my love for you is endless.
Kisah ini berdasarkan kisah fiksi dengan memori nyata dari seorang wanita yang masih terjerat dalam penantiannya.