Kadang jatuh cinta itu sulit ya.
Kau ada didekatnya, tapi tak mampu mengungkapkannya. Kadang kau juga harus
pura-pura tertawa dan pura-pura tak peduli saat orang yang kau cinta ada dalam
pelukan orang lain. Dan terkadang, kau harus rela melepaskannya demi
kebahagiannya.
Aku, aku korban dari semua itu.
Aku menyukai seorang wanita yang merupakan sahabatku sendiri. Aku mulai
merasakan aku jatuh cinta saat kami berumur 12 tahun. Saat itu ibu dan ayahku
sering bertengkar dan aku merupakan korban pelampiasan kekesalan ayahku.
Terkadang ada lebam di pipiku, kadang di tangan, bahkan terkadang hampir di
setiap anggota tubuhku. Aku yang lemah dan tak mempunyai teman saat itu mulai
mengucilkan diriku.
Banyak anak mengejekku si
penunggu perpustakaan, karena aku yang kuper
selalu disana dengan berbagai buku misteri dan buku pengetahuan di tanganku. Aku
merasa bukulah yang satu-satunya mengerti aku, memberiku banyak pelajaran dan
mimpi, membiarkanku terdiam dan merenung dengan tulisan-tulisan di dalamnya.
Suatu ketika seorang anak
perempuan sebayaku datang menghampiriku, bertanya tentang lebam di tangan
kananku yang cukup besar. Aku hanya menjawab seperlunya, tapi anak itu terus
saja mengguyuri aku dengan berbagai pertanyaan.
Aku yang kesal melemparkan buku
yang kubaca kepadanya. Dia hanya terdiam, kaget mungkin. Saat itu rasa bersalah
menghampiriku, tapi aku terlalu gengsi untuk meminta maaf. Aku membalikkan
badanku dan hampir melangkahkan kakiku, tapi sebuah suara yang tertahan
berkata, “Aku cuma tanya, soalnya aku
peduli. Aku suka merhatiin kamu sendirian, aku mau temenin kamu soalnya kata
mama aku harus ngasih senyuman ke semua orang. Aku belum pernah liat kamu
senyum, makanya aku mau ngasih senyuman buat kamu.”
Melihat ketulusan yang dia
berikan padaku, rasanya aku benar-benar ingin menjaganya. Aku tidak ingin dia
berada dengan orang-orang sejahat ayahku, atau kecewa dengan perlakuan orang
lain terhadapnya, bahkan merasa sedih karena penolakan seperti yang aku
lakukan.
Sejak saat itu, kami selalu
berdua, bahkan beberapa orang mengira kami berpacaran. Tapi dengan melihat tawa
meremehkannya, aku cukup yakin dia hanya menganggap aku sebagai seorang sahabat
baiknya, sahabat yang selalu ada untuknya. Walau perasaanku padanya jauh
melampaui perasaan yang ia rasakan, tapi nyatanya tak ada hal yang bisa aku
lakukan.
Aku tidak tahu apa dia menyadari
perasaanku, tapi kuharap tidak. Aku selalu ingin ada didekatnya, walau itu
sebagai sahabat. Sebagai orang yang yang selalu ada dikala kau membutuhkan
seseorang, sebagai sebuah alasannya untuk tertawa.
Akhir-akhir ini dia berbeda, dia
menjauhiku. Aku sering bertanya-tanya mengapa, tapi aku tak berani bertanya
langsung padanya. Sampai akhirnya aku melihatnya memandangi pria lain yang
punya beribu pesona dibandingkan aku. Aku cemburu, tapi apa dayaku? Aku hanya
bisa menggodanya, pura-pura tertawa, dan ikut bahagia dengan apa yang dia
katakan, walau hatiku berkata sebaliknya.
Bolehkah aku mencintaimu lebih dari sekedar sahabat, sahabat?