Ketika mulut tak bisa berkata, maka kuungkapkan semua dalam rangkaian kata

Jumat, 09 Mei 2014

Bolehkah Aku, Sahabat?


Kadang jatuh cinta itu sulit ya. Kau ada didekatnya, tapi tak mampu mengungkapkannya. Kadang kau juga harus pura-pura tertawa dan pura-pura tak peduli saat orang yang kau cinta ada dalam pelukan orang lain. Dan terkadang, kau harus rela melepaskannya demi kebahagiannya.

Aku, aku korban dari semua itu. Aku menyukai seorang wanita yang merupakan sahabatku sendiri. Aku mulai merasakan aku jatuh cinta saat kami berumur 12 tahun. Saat itu ibu dan ayahku sering bertengkar dan aku merupakan korban pelampiasan kekesalan ayahku. Terkadang ada lebam di pipiku, kadang di tangan, bahkan terkadang hampir di setiap anggota tubuhku. Aku yang lemah dan tak mempunyai teman saat itu mulai mengucilkan diriku.

Banyak anak mengejekku si penunggu perpustakaan, karena aku yang kuper selalu disana dengan berbagai buku misteri dan buku pengetahuan di tanganku. Aku merasa bukulah yang satu-satunya mengerti aku, memberiku banyak pelajaran dan mimpi, membiarkanku terdiam dan merenung dengan tulisan-tulisan di dalamnya.

Suatu ketika seorang anak perempuan sebayaku datang menghampiriku, bertanya tentang lebam di tangan kananku yang cukup besar. Aku hanya menjawab seperlunya, tapi anak itu terus saja mengguyuri aku dengan berbagai pertanyaan.

Aku yang kesal melemparkan buku yang kubaca kepadanya. Dia hanya terdiam, kaget mungkin. Saat itu rasa bersalah menghampiriku, tapi aku terlalu gengsi untuk meminta maaf. Aku membalikkan badanku dan hampir melangkahkan kakiku, tapi sebuah suara yang tertahan berkata, “Aku cuma tanya, soalnya aku peduli. Aku suka merhatiin kamu sendirian, aku mau temenin kamu soalnya kata mama aku harus ngasih senyuman ke semua orang. Aku belum pernah liat kamu senyum, makanya aku mau ngasih senyuman buat kamu.

Melihat ketulusan yang dia berikan padaku, rasanya aku benar-benar ingin menjaganya. Aku tidak ingin dia berada dengan orang-orang sejahat ayahku, atau kecewa dengan perlakuan orang lain terhadapnya, bahkan merasa sedih karena penolakan seperti yang aku lakukan.

Sejak saat itu, kami selalu berdua, bahkan beberapa orang mengira kami berpacaran. Tapi dengan melihat tawa meremehkannya, aku cukup yakin dia hanya menganggap aku sebagai seorang sahabat baiknya, sahabat yang selalu ada untuknya. Walau perasaanku padanya jauh melampaui perasaan yang ia rasakan, tapi nyatanya tak ada hal yang bisa aku lakukan.

Aku tidak tahu apa dia menyadari perasaanku, tapi kuharap tidak. Aku selalu ingin ada didekatnya, walau itu sebagai sahabat. Sebagai orang yang yang selalu ada dikala kau membutuhkan seseorang, sebagai sebuah alasannya untuk tertawa.

Akhir-akhir ini dia berbeda, dia menjauhiku. Aku sering bertanya-tanya mengapa, tapi aku tak berani bertanya langsung padanya. Sampai akhirnya aku melihatnya memandangi pria lain yang punya beribu pesona dibandingkan aku. Aku cemburu, tapi apa dayaku? Aku hanya bisa menggodanya, pura-pura tertawa, dan ikut bahagia dengan apa yang dia katakan, walau hatiku berkata sebaliknya.



Bolehkah aku mencintaimu lebih dari sekedar sahabat, sahabat?

Maafkan Aku, Sahabat

Kala itu aku sering memerhatikamu yang selalu ada di pojokan perpustakaan, sedang membaca buku yang kau pegang dengan asiknya. Aku sering membohongi teman-temanku saat ku bilang bahwa aku tidak pernah melihatmu tersenyum, karena nyatanya aku sering melihatmu tersenyum dengan membaca buku. Buku ensiklopedia yang hanya kau lihat gambarnya seakan memperlihatkanmu dunia, sedangkan buku Sherlock Holmes yang kau baca membuat mukamu begitu serius, seakan bertandakan ‘Jangan ganggu aku’.

Di sela-sela kau membaca, terkadang kau menerawang. Matamu mengisyaratkan kepedihan hidup yang kau jalani saat itu, lebam disekujur badanmu itu seakan menjadi bukti. Aku yang merasakan kepedihan itu memberanikan diri menghampirimu, bertanya banyak hal agar bisa lebih mengerti perasaanmu. Tapi tingkahku yang keterlaluan itu membuatmu risih dan melempar bukumu padaku. Aku tersontak, tiba-tiba mataku berlinang airmata.

Aku cuma tanya, soalnya aku peduli. Aku suka merhatiin kamu sendirian, aku mau temenin kamu soalnya kata mama aku harus ngasih senyuman ke semua orang. Aku belum pernah liat kamu senyum, makanya aku mau ngasih senyuman buat kamu.

Kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibirku. Mama? Ah, orang yang meninggalkan aku dan ayah karena keserakahannya akan harta itu mengapa masih saja aku ingat? Hatiku makin padih ketika mengucapkannya. Tapi saat itu kau langsung menghampiriku dan mengucapkan kata ‘maaf’ yang ku yakin dari lubuk hatimu yang terdalam. Kau menghapus airmataku saat itu dan tersenyum.

“Nih liat, aku udah senyum kan? Kamu jangan nangis lagi dong, kan kamu udah berhasil.”

Sejak saat itu kita selalu bersama sebagai sahabat. Kau selalu ada untukku saat duka maupun duka, begitupula sebaliknya. Sampai suatu ketika seorang temanku menghampiriku dan menilai kedekatan kita sebagai sepasang kekasih. Aku awalnya hanya tertawa, tapi lama kelamaan itu semua membuatku risih.

Aku memerhatikanmu lebih saksama, dan ternyata benar. Pancaran sinar matamu mengisyaratkan ‘aku mencintaimu’ didalamnya. Aku tak bisa menerima itu semua, karena aku memang hanya menganggapmu sebagai sahabat. Apakah itu saja tidak cukup bagi hubungan kita?

Maaf, sekali lagi kukatakan maaf. Aku tak ingin menghancurkan hubungan persahabatan yang selama ini kita bangun. Maaf jika kau harus merasakan cinta sepihak, merasakan lagi hancurnya hati yang sudah kau perbaiki. Maaf kalau aku terlalu egois dan mencintai pria lain di hidupku. Maaf jika aku harus pura-pura tak tahu perasaanmu dan membuat perasaanmu melambung ke angkasa.

Kumohon, carilah kebahagiaanmu sendiri tanpaku. Buang semua rasa itu dari lubuk hatimu, dan kembalikan rasa persahabatan itu. Bantu aku mengenyahkannya tanpa aku harus menjauhimu. Karena aku yakin dan percaya, seiring waktu berjalan, kita akan mendapatkan yang terbaik, untuk masing-masing dari kita.