Ketika mulut tak bisa berkata, maka kuungkapkan semua dalam rangkaian kata

Jumat, 09 Mei 2014

Maafkan Aku, Sahabat

Kala itu aku sering memerhatikamu yang selalu ada di pojokan perpustakaan, sedang membaca buku yang kau pegang dengan asiknya. Aku sering membohongi teman-temanku saat ku bilang bahwa aku tidak pernah melihatmu tersenyum, karena nyatanya aku sering melihatmu tersenyum dengan membaca buku. Buku ensiklopedia yang hanya kau lihat gambarnya seakan memperlihatkanmu dunia, sedangkan buku Sherlock Holmes yang kau baca membuat mukamu begitu serius, seakan bertandakan ‘Jangan ganggu aku’.

Di sela-sela kau membaca, terkadang kau menerawang. Matamu mengisyaratkan kepedihan hidup yang kau jalani saat itu, lebam disekujur badanmu itu seakan menjadi bukti. Aku yang merasakan kepedihan itu memberanikan diri menghampirimu, bertanya banyak hal agar bisa lebih mengerti perasaanmu. Tapi tingkahku yang keterlaluan itu membuatmu risih dan melempar bukumu padaku. Aku tersontak, tiba-tiba mataku berlinang airmata.

Aku cuma tanya, soalnya aku peduli. Aku suka merhatiin kamu sendirian, aku mau temenin kamu soalnya kata mama aku harus ngasih senyuman ke semua orang. Aku belum pernah liat kamu senyum, makanya aku mau ngasih senyuman buat kamu.

Kata-kata itu mengalir begitu saja dari bibirku. Mama? Ah, orang yang meninggalkan aku dan ayah karena keserakahannya akan harta itu mengapa masih saja aku ingat? Hatiku makin padih ketika mengucapkannya. Tapi saat itu kau langsung menghampiriku dan mengucapkan kata ‘maaf’ yang ku yakin dari lubuk hatimu yang terdalam. Kau menghapus airmataku saat itu dan tersenyum.

“Nih liat, aku udah senyum kan? Kamu jangan nangis lagi dong, kan kamu udah berhasil.”

Sejak saat itu kita selalu bersama sebagai sahabat. Kau selalu ada untukku saat duka maupun duka, begitupula sebaliknya. Sampai suatu ketika seorang temanku menghampiriku dan menilai kedekatan kita sebagai sepasang kekasih. Aku awalnya hanya tertawa, tapi lama kelamaan itu semua membuatku risih.

Aku memerhatikanmu lebih saksama, dan ternyata benar. Pancaran sinar matamu mengisyaratkan ‘aku mencintaimu’ didalamnya. Aku tak bisa menerima itu semua, karena aku memang hanya menganggapmu sebagai sahabat. Apakah itu saja tidak cukup bagi hubungan kita?

Maaf, sekali lagi kukatakan maaf. Aku tak ingin menghancurkan hubungan persahabatan yang selama ini kita bangun. Maaf jika kau harus merasakan cinta sepihak, merasakan lagi hancurnya hati yang sudah kau perbaiki. Maaf kalau aku terlalu egois dan mencintai pria lain di hidupku. Maaf jika aku harus pura-pura tak tahu perasaanmu dan membuat perasaanmu melambung ke angkasa.

Kumohon, carilah kebahagiaanmu sendiri tanpaku. Buang semua rasa itu dari lubuk hatimu, dan kembalikan rasa persahabatan itu. Bantu aku mengenyahkannya tanpa aku harus menjauhimu. Karena aku yakin dan percaya, seiring waktu berjalan, kita akan mendapatkan yang terbaik, untuk masing-masing dari kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar