Aku disini, menjadi salah satu dari mereka yang terjebak saat hujan menjatuhkan titik-titik airnya.
Senin, 28 Desember 2015
Hujan
Aku disini, menjadi salah satu dari mereka yang terjebak saat hujan menjatuhkan titik-titik airnya.
Jumat, 18 September 2015
Hal Kecil yang Berarti
Senin, 14 September 2015
Pemain Sirkus
Hari ini tidak ada satupun acara televisi yang menurutku menarik. Semua saluran berita diisi dengan kasus kejahatan, saluran pengetahuan diisi dengan hal-hal biologis dan kimiawi yang saya kurang sukai. Sisanya, hanya saluran film-film cengeng dan gosip-gosip keartisan yang aku yakin itu hanya sesuatu yang mereka buat-buat agar rating mereka naik lagi.
Ketika aku mengubah-ngubah stasiun televisi, aku terhenti pada sebuah stasiun televisi yang tidak terlalu terkenal. Mereka sedang menyiarkan sebuah acara sirkus di negara-negara Eropa sana. Sesekali aku tercengang melihat kehebatan mereka terhadap atraksi-atraksinya dan tertawa kecil melihat kekonyolan para pemain sirkus itu.
Tiba-tiba, seorang penonton disorot di acara tersebut. Penonton itu sangat mirip dengan seseorang yang saya kenal. Seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dan memenuhi hatiku; sampai saat ini.
Aku kembali memfokuskan diriku untuk menonton sisa acara sirkus itu, tapi sosoknya kerap memenuhi pikiranku. Bayang-bayang kenangan mulai bermunculan dan membuat jantungku berdegup dengan kencang.
Acara sirkus itu kini menampilkan seorang badut, lengkap dengan hidung tomat merah, rambut keriting, dan perut besarnya. Semua penonton mulai tersenyum melihat betapa konyolnya pakaian badut itu. Tidak sampai disitu saja, badut itu kini menaiki tangga, dan berdiri di depan sebuah tali yang terbentang sekitar 8-10 meter di atas tanah. Semua penonton bertepuk tangan, dan tepuk tangan makin kencang ketika ia mulai melangkahkan kakinya di atas tali tersebut. Langkah pertama, ia terlihat begitu ragu. Tapi beberapa langkah selanjutnya, kepastian dan kepercayaan diri menghampirinya, bahkan ia beberapa kali berjalan mundur di atas tali tersebut.
Setelah setengah jalan, angin bertiup dengan kencang. Badut itu, tanpa memakai alat pengaman, mulai kehilangan keseimbangan. Tak berapa lama angin mulai berhembus lagi. Sangat jelas terlihat dibalik dandanan konyol si badut, ia sangat panik. Ia melangkah sekali lagi dan kali ini badut itu menyerah. Ia mulai berbalik arah seperti ingin kembali, tapi ketika ia membalikan badan, badut itu terjatuh. Lampu sorot pun dimatikan dan penonton tampak tak begitu terkesan lagi setelah badut itu terjatuh.
Kupikir, saat aku jatuh cinta padanya aku pun sama seperti badut itu. Aku ingat pertama kali aku bertemu dengannya, yaitu ketika teman-temanku mengajakku ke sebuah lapang futsal, melihat beberapa teman laki-lakiku bertanding. Aku, yang baru saja mengakhiri hubunganku dengan mantanku, hanya mengiyakan, sekaligus menghilangkan kepenatan pikirku.
Disaat itu juga aku melihat sosoknya berdiri di tengah lapang, lengkap dengan pakaian futsalnya. Entah hatiku yang baru kosong, atau hanya sebuah kekaguman belaka, tapi aku terpikat padanya. Tak berapa lama, seolah Tuhan memberikan jalanNya untukku, dia dan temannya menghampiri aku dan temanku yang terduduk di pinggir lapangan. Sejak saat itu, jantungku berdegup kencang jika ia ada di dekatku.
Aku tak yakin apa dia sadar atau tidak, tapi saat itu aku terlalu tegang dan tidak bisa berkata-kata dengan benar.
Hal-hal lainnya samar-samar teringat dalam benakku, tapi satu hal yang pasti: kami pernah sangat dekat. Dimulai dari tatapan yang terjadi di kantin sekolahku, sampai akhirnya kami menghabiskan akhir pekan, menonton di bioskop atau sekedar baca komik bersama.
Kedekatan kami mulai merenggang ketika dia, yang adalah kakak kelasku, lulus dari sekolah. Aku amat kehilangan, apalagi disaat dia telah menempati ruang istimewa di hatiku. Pesan singkat yang dulu selalu terjadi di antara kami kini mulai menjadi sebuah basa basi belaka.
Harapanku terhadapnya mulai pudar. Aku mulai ragu akan kelanjutan hubunganku dengannya. Sampai pada akhirnya dia mulai menghubungiku lagi, menanyakan bagaimana kabarku, studiku, keluargaku, dan hal-hal kecil lainnya. Hal kecil ini, hal yang selalu aku tunggu-tunggu ini, membuat hatiku seperti mau meledak.
Kupikir sebuah kata rindu akan tertulis pada pesan-pesan singkatnya padaku, tapi Tuhan berkata lain. Ternyata ia menghubungiku hanya untuk menanyakan bagaimana kabar temanku, yang sekarang merupakan kekasihnya. Awalnya aku tidak percaya, karena memang tidak ada gosip apapun, sampai aku melihat sendiri pesan-pesan yang ia kirimkan pada temanku itu. Kekecewaanku menjadi-jadi, dan saat itu juga aku mulai berhenti berkirim pesan singkat dengannya.
Aku memutuskan untuk menyerah, sama seperti badut yang merasa anginnya terlalu kencang untuk dilewati itu. Aku tidak mau menyakiti hatiku lebih dalam lagi. Jika badut itu terjatuh saat ia memilih jalan kembali, maka aku tidak akan melakukan hal yang sama. Aku tidak akan terjatuh, tapi aku bersumpah aku akan menjadi wanita yang lebih baik lagi dan membuat ia menyesal menghempaskanku begitu saja.
Saat ini aku masih berada di atas tali itu dan akan mencapai batas akhirku. Jika aku mencapai batas itu, itu berarti aku tidak akan melewati tali yang sama. Seberapa besarpun kekecewaan yang aku alami ini, aku tidak akan pernah memutus tali itu, dengan harapan kali ini ia yang akan melewati tali itu dan melangkah ke arahku.
Cause what we had is timeless, and my love for you is endless.
Kisah ini berdasarkan kisah fiksi dengan memori nyata dari seorang wanita yang masih terjerat dalam penantiannya.
Sabtu, 25 Juli 2015
Superman
Rabu, 01 Juli 2015
Keajaiban Cinta dari Setengah Cangkir Kopi Pahit
Sebuah bar tua kali ini menjadi tempat pertemuan antara aku dan Jack, kawan baruku. Kemarin setelah kami membahas talkshow yang diadakan beberapa hari yang lalu oleh Suzzane Collins, Jack tak sengaja meninggalkan dompetnya di apartemenku. Awalnya Jack mau mengambilnya ke apartemenku, tapi kupikir lebih baik kami bertemu, sekaligus menghilangkan kepenatan yang terus kukurung dalam apartemenku.
Sesampainya di bar ini, mataku mencari-cari Jack di keramaian. Karena tidak melihat sosoknya, aku duduk di hadapan bartender, berharap dia akan mengajakku bicara. Aku benci ketika aku harus duduk sendiri menunggu seseorang tanpa melakukan apapun. Tapi ternyata harapan hanyalah harapan, si bartender yang umurnya kira-kira tiga puluhan itu sibuk dengan pelanggannya.
Padahal baru lima menit berlalu sejak aku sampai disini, tapi sudah terasa tiga puluh menit. Tingkat kebosananku mulai di tahap akhir, aku perlu melakukan sesuatu!
"Bolehkah saya duduk disebelah Anda?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sukses menyadarkanku dari lamunanku--dan kebosananku tentunya.
"Oh ya, silahkan, Tuan," sambutku ramah.
Aku mengetuk-ngetukan jariku, berharap Jack segera datang. Tidak biasanya dia datang terlambat selama ini.
"Ini pesananmu, Tuan Hamish. Setengah cangkir kopi pahit," kata si bartender sambil menyodorkan sebuah cangkir putih di hadapan lelaki itu.
"Ah, terima kasih, Philip," jawabnya.
"Setengah cangkir?" tanyaku tiba-tiba, tak bisa menutupi keanehanku karena melihatnya memesan setengah cangkir kopi tersebut.
Pria itu tertawa, tapi dengan tawa yang agak miris.
"Setengah cangkir kopi pahit itu punya kenangan tersendiri bagi saya, Tuan," matanya menerawang, mengisyaratkan kepedihan akan kenangan dari kopi tersebut.
Tuan Hamish pun perlahan-lahan mulai bercerita. Sekitar 30 tahun yang lalu, ia bertemu seorang wanita di bar ini. Wanita itu tak begitu cantik, tapi jika aku menjadi dirinya, pasti aku akan terpikat--begitu katanya. Keanggunan, tawa, dan setiap hal yang ada dalam diri si wanita mampu membuat jantungnya berdebar dan membuat angan untuk memiliki si wanita semakin melambung.
Selanjutnya, Tuan Hamish bercerita tentang keluguannya mengajak si wanita itu berkenalan, tentu saja setelah mereka beberapa kali bertemu. Wanita itu agak kaget melihat Tuan Hamish menjulurkan tangannya dan memintanya berkenalan, karena selama ini yang ia tahu, Tuan Hamish hanya mampu memandanginya dari jauh.
Si wanita menyambut uluran tangan Tuan Hamish dengan hangat, tapi sayangnya wanita itu hanya tersenyum, tanpa berkata apa-apa. Setelah kecanggungan yang terjadi, Tuan Hamish berniat untuk kembali. Tapi, kemujuran ada di pihaknya. Ia melihat setengah cangkir kopi di atas meja si wanita. Dengan agak malu, Tuan Hamish mulai bertanya tentang kopi itu. Ternyata, wanita itu tidak mampu meminum secangkir kopi sisanya sendirian.
Tuan Hamish tidak bertanya lebih jauh, ia hanya melihatnya sebagai kesempatan bagus untuk berbasa basi. Tanpa malu, ia pun duduk di depan wanita itu dan meminum setengah cangkir kopi yang tersisa. Akibat terlalu gugup, Tuan Hamish menegukan semuanya, tanpa sadar itu adalah kopi pahit. Si wanita pun tertawa geli melihat keluguan Tuan Hamish. Semenjak hal itu, mereka selalu bertemu di bar ini dan memesan satu gelas kopi pahit.
"Lalu, kali ini kenapa Anda memesan kopi itu setengah?" tanyaku, agak penasaran.
Matanya kembali menunjukan kepedihan, bahkan kali ini disertai genangan airmata di mata birunya itu.
"Ya, karena aku sudah tidak bisa bersamanya lagi. Aku meninggalkannya setelah lima tahun pernikahan kami. Aku tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami, apalagi ditambah dengan seorang anak lelaki," ia menghembuskan nafas panjang, menutup matanya dan mulai mengepalkan kedua tangannya, pertanda berbagai emosi tengah berkecamuk dalam hatinya. "Oh, andaikan aku mampu membalikkan waktu. Sekarang aku tidak mampu menemukan keluargaku dimanapun," lanjutnya.
Detik berikutnya, Tuan Hamish bergeming. Ia mulai menegukan seluruh kopi pahit di dalam cangkir itu, seakan berharap seluruh kepahitan hidupnya bisa ia telan dan sirna. Matanya menerawang lagi, menghembuskan nafas, dan tersenyum. Ia menatapku dan berterima kasih telah mendengarkan ceritaku.
Sesaat setelah Tuan Hamish pergi, titik-titik hujan mulai berjatuhan, seakan mereka ikut bersedih mendengar kisah Tuan Hamish. Mungkin, hujan itu ingin menyamarkan airmata penyesalan yang turun dari mata teduh Tuan Hamish.
Setelah kepergian Tuan Hamish, tak berapa lama Jack masuk dari pintu, sambil mengusap-ngusap rambutnya yang basah.
"Oh, Jacob. Maafkan saya membuatmu menunggu lama. Lift di apartemen saya tadi mati dan saya terjebak di dalamnya," kata Jack sambil terengah-engah.
"Oh tidak masalah, Jack. Tadi aku baru saja ditemani seseorang untuk berbincang,"
"Oya? Siapa dia? Seseorang yang Anda kenal?" tanyanya sambil mulai mengambil tempat di sebelahku.
"Namanya Tuan Hamish. Oh, Jack kau harus mendengarkan kisahnya. Tadi dia..."
"Siapa katamu tadi?" Jack setengah berteriak, sukses membuat jantungku hampir loncat.
"Hmm...Tuan Hamish, Jack. Dia baru saja pergi, tidak lama sebelum Anda datang. Apa Anda mengenalnya?"
"Kemana dia pergi sekarang?" tanyanya lagi, mengacuhkan pertanyaanku.
"Entahlah, dia tidak bilang apa-apa. Sepertinya mengarah ke Town Square," kataku agak bingung.
Jack pun menghambur keluar. Ia berlari, tak peduli bahwa hujan deras sedang membasahi tubuhnya saat ini.
"Jack, tunggu!" teriakku, sambil meraih dompetnya yang sedari tadi aku taruh di meja. Saat aku mulai melangkahkan kakiku, dompet Jack terjatuh. Dompet itu terbuka, memperlihatkan sebuah foto keluarga di dalamnya. Tunggu! Ini kan Tuan Hamish? Kenapa foto Tuan Hamish ada di.... Ah! Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang? Nama Jack kan Jack Hamish! Dia pasti anak dari Tuan Hamish!
Tanpar berpikir panjang, aku mulai mengejar Jack. Dia berlari cukup kencang, membuatku tak sanggup mengejarnya di tengah derasnya hujan ini. Setelah berlari cukup jauh, Jack berhenti. Kakiku pun ikut berhenti, padahal jarak aku dan Jack masih beberapa meter lagi. Aku melihat Jack memeluk Tuan Hamish, sangat dekap. Mereka mulai menangis--mungkin. Entahlah, hujan membuat pandanganku kabur. Aku pun tidak mendengar apa-apa dari mereka selain kata 'ayah' dan 'maafkan aku'.
Sekarang aku mulai sadar apa yang terjadi. Aku mulai melangkah menjauh, tak ingin merusak momen bahagia mereka. Mungkinkah ini kemujuran Tuan Hamish lagi ataukah...keajaiban cinta dari setengah cangkir kopi pahit?
Selasa, 30 Juni 2015
Surat untuk Sahabatku
Apa kau menghitung berapa banyak surat yang kutulis dan kukirimkan untukmu? Ya, jelas aku menghitungnya. 59 surat, dan ini adalah suratku yang 60. Aku heran, kuat sekali hatimu itu sampai-sampai tak mau membalas ke-59 suratku yang lain. Oh, tenang. Aku pun tidak mengharapkan balasan suratmu kali ini. Aku kenal baik bagaimana keras kepalanya kau.
Tapi kali ini, demi menyelesaikan masalah diantara kita, aku akan berkata jujur padamu. Sesungguhnya, semua yang aku ucapkan di hari itu adalah sebuah kebohongan besar. Semenjak kau membalikan badanmu dan meninggalkanku di belakangmu, ada hal aneh yang aku rasakan. Saat itu juga, aku sadar dan mengakui bahwa ada perasaan yang tumbuh dalam hatiku untukmu. Egoku tapi tetap bersikeras, aku tak mau kehilanganmu sebagai seorang sahabat. Ah, tapi semua sudah berlalu, iya kan? Kita tak bisa memutar waktu dan mengulangi kejadian yang sama.