Ketika mulut tak bisa berkata, maka kuungkapkan semua dalam rangkaian kata

Senin, 28 Desember 2015

Hujan

Untuk beberapa orang, rintik hujan selalu membawa kenangan untuk diri mereka. Kenangan itu bisa saja merupakan kenangan baik ataupun buruk. Alasan hujan membiarkan kenangan menghampiri mereka karena hujan seumpama kenangan. Titik demi titik berjatuhan membasahi bumi, memberikan anugerah atau malah bencana. Tidak ada yang tahu kapan hujan akan berhenti menjatuhkan titik-titik airnya, kita hanya perlu membiarkan waktu yang menjawab dan bersyukur dengan apapun yang terjadi.





Aku disini, menjadi salah satu dari mereka yang terjebak saat hujan menjatuhkan titik-titik airnya.

Jumat, 18 September 2015

Hal Kecil yang Berarti

Hari ini, saya banyak tertimpa hal-hal tidak terduga.

Tadi pagi, saya sampai di kampus sekitar pukul 7 pagi, karena memang ada kelas. Sesampainya saya di kampus, saya memarkirkan motor dan langsung masuk kelas. Saya menghabiskan waktu hampi kurang lebih 9 jam di kampus, lalu setelah itu saya langsung pulang. 

Nah, hal yang luar biasa ini terjadi ketika saya berjalan ke parkiran motor. Saat itu kebetulan saya sedang berjalan sendirian, karena teman-teman saya yang lain tidak pulang lewat parkiran motor itu. Ketika saya sampai di tempat tadi pagi motor saya di parkir, saya kaget karena motor saya tidak ada. Awalnya saya berpikir mungkin hanya dipindahkan posisinya, karena memang tidak jarang motor saya berpindah tempat parkir, karena memang lahan parkir yang terbatas.

Akhirnya saya berjalan sepanjang tempat parkir itu, tapi ternyata motor saya tidak ada. Saya berjalan lagi sambil mencari motor hijau saya. Setelah berjalan kurang lebih dua kali putaran, hasilnya sama saja, saya tidak bisa menemukan motor saya. 

Dengan penuh rasa panik, saya langsung menemui petugas parkir. Saya bertanya, tapi ternyata petugas itu pun tidak tahu. Saya lalu disuruh datang menemui pos satpam di dekat gedung fakultas teknik informatika dan sains, siapa tahu mereka melihatnya.

Setelah mengucapkan terima kasih, saya langsung berjalan cepat ke arah pos satpam. Pos satpam itu terbagi dua, ada yang di atas dan dibawah. Saya langsung menemui seorang pekarya yang duduk di pos satpam bawah, tapi pekarya tersebut malah menyuruh saya ke pos satpam di atas. Masih dengan rasa panik, saya langsung naik ke atas. Dannn....disanalah saya menemukan motor saya, lengkap dengan kuncinya.

Saya sangat bersyukur saat itu. Pikiran-pikiran negatif yang sebelumnya memenuhi pikiran saya langsung lenyap. Saya bertanya kepada satpam tersebut siapa yang memindahkan motor saya, dan beliau menjawab, "Iya, tadi ada anak-anak bawa motornya Mbak kesini."

Jujur, saya kaget. Kenapa? Karena saya tidak menyangka masih ada orang baik dan jujur yang masih mempedulikan hal-hal sepele seperti ini. Jujur saja, mungkin kalau saya jadi orang itu, saya tidak akan sampai sepeduli itu menaruh motor saya di pos satpam. 

Akhirnya, terima kasih kepada orang baik ini, saya bisa pulang ke rumah dengan aman.

Tidak, tidak cukup sampai disitu saja. Sekitar pukul setengah 8 malam ini saya sedang belajar karena besok ada tes. Saya beberapa kali kesusahan dan selalu bertanya pada teman saya yang beberapa hari kemarin sudah tes. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan baik, sambil sesekali memberi semangat pada saya. 

Berkali-kali saya melakukan kesalahan saat mengerjakan soalnya, tapi dia berkali-kali mengajarkan saya dan menolong saya mengerjakan soal. Lalu akhirnya, sekitar pukul 10 malam saya selesai belajar dan paham. 

Detik ini, ketika saya menulis di blog ini, berbagai macam pikiran muncul di benak saya. Betapa saya amat bersyukur pada Tuhan, ditengah-tengah dunia yang kian lama kian jahat ini, masih ada orang yang peduli dan baik pada saya. 

Mungkin bagi kalian, ini hanyalah hal sepele. Ya, lagipula memang seharusnya manusia hidup seperti ini, iya kan? Tapi, siapa yang menyangka hal-hal sepele ini bisa merubah orang lain ke jalan yang lebih baik? Bisa membuat orang lain untuk terus merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kalian. Saya sendiri, jika membaca tulisan ini mungkin akan berpendapat sama. 

Bagaimana pun itu, tak peduli hal yang kau lakukan kecil atau besar, memalukan atau tidak, selalu kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Kau tak tahu kan seberapa berartinya hal itu bagi mereka?:)

Senin, 14 September 2015

Pemain Sirkus

Hari ini tidak ada satupun acara televisi yang menurutku menarik. Semua saluran berita diisi dengan kasus kejahatan, saluran pengetahuan diisi dengan hal-hal biologis dan kimiawi yang saya kurang sukai. Sisanya, hanya saluran film-film cengeng dan gosip-gosip keartisan yang aku yakin itu hanya sesuatu yang mereka buat-buat agar rating mereka naik lagi.

Ketika aku mengubah-ngubah stasiun televisi, aku terhenti pada sebuah stasiun televisi yang tidak terlalu terkenal. Mereka sedang menyiarkan sebuah acara sirkus di negara-negara Eropa sana. Sesekali aku tercengang melihat kehebatan mereka terhadap atraksi-atraksinya dan tertawa kecil melihat kekonyolan para pemain sirkus itu.

Tiba-tiba, seorang penonton disorot di acara tersebut. Penonton itu sangat mirip dengan seseorang yang saya kenal. Seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dan memenuhi hatiku; sampai saat ini.

Aku kembali memfokuskan diriku untuk menonton sisa acara sirkus itu, tapi sosoknya kerap memenuhi pikiranku. Bayang-bayang kenangan mulai bermunculan dan membuat jantungku berdegup dengan kencang.

Acara sirkus itu kini menampilkan seorang badut, lengkap dengan hidung tomat merah, rambut keriting, dan perut besarnya. Semua penonton mulai tersenyum melihat betapa konyolnya pakaian badut itu. Tidak sampai disitu saja, badut itu kini menaiki tangga, dan berdiri di depan sebuah tali yang terbentang sekitar 8-10 meter di atas tanah. Semua penonton bertepuk tangan, dan tepuk tangan makin kencang ketika ia mulai melangkahkan kakinya di atas tali tersebut. Langkah pertama, ia terlihat begitu ragu. Tapi beberapa langkah selanjutnya, kepastian dan kepercayaan diri menghampirinya, bahkan ia beberapa kali berjalan mundur di atas tali tersebut.

Setelah setengah jalan, angin bertiup dengan kencang. Badut itu, tanpa memakai alat pengaman, mulai kehilangan keseimbangan. Tak berapa lama angin mulai berhembus lagi. Sangat jelas terlihat dibalik dandanan konyol si badut, ia sangat panik. Ia melangkah sekali lagi dan kali ini badut itu menyerah. Ia mulai berbalik arah seperti ingin kembali, tapi ketika ia membalikan badan, badut itu terjatuh. Lampu sorot pun dimatikan dan penonton tampak tak begitu terkesan lagi setelah badut itu terjatuh.

Kupikir, saat aku jatuh cinta padanya aku pun sama seperti badut itu. Aku ingat pertama kali aku bertemu dengannya, yaitu ketika teman-temanku mengajakku ke sebuah lapang futsal, melihat beberapa teman laki-lakiku bertanding. Aku, yang baru saja mengakhiri hubunganku dengan mantanku, hanya mengiyakan, sekaligus menghilangkan kepenatan pikirku.

Disaat itu juga aku melihat sosoknya berdiri di tengah lapang, lengkap dengan pakaian futsalnya. Entah hatiku yang baru kosong, atau hanya sebuah kekaguman belaka, tapi aku terpikat padanya. Tak berapa lama, seolah Tuhan memberikan jalanNya untukku, dia dan temannya menghampiri aku dan temanku yang terduduk di pinggir lapangan. Sejak saat itu, jantungku berdegup kencang jika ia ada di dekatku.

Aku tak yakin apa dia sadar atau tidak, tapi saat itu aku terlalu tegang dan tidak bisa berkata-kata dengan benar.

Hal-hal lainnya samar-samar teringat dalam benakku, tapi satu hal yang pasti: kami pernah sangat dekat. Dimulai dari tatapan yang terjadi di kantin sekolahku, sampai akhirnya kami menghabiskan akhir pekan, menonton di bioskop atau sekedar baca komik bersama.

Kedekatan kami mulai merenggang ketika dia, yang adalah kakak kelasku, lulus dari sekolah. Aku amat kehilangan, apalagi disaat dia telah menempati ruang istimewa di hatiku. Pesan singkat yang dulu selalu terjadi di antara kami kini mulai menjadi sebuah basa basi belaka.

Harapanku terhadapnya mulai pudar. Aku mulai ragu akan kelanjutan hubunganku dengannya. Sampai pada akhirnya dia mulai menghubungiku lagi, menanyakan bagaimana kabarku, studiku, keluargaku, dan hal-hal kecil lainnya. Hal kecil ini, hal yang selalu aku tunggu-tunggu ini, membuat hatiku seperti mau meledak.

Kupikir sebuah kata rindu akan tertulis pada pesan-pesan singkatnya padaku, tapi Tuhan berkata lain. Ternyata ia menghubungiku hanya untuk menanyakan bagaimana kabar temanku, yang sekarang merupakan kekasihnya. Awalnya aku tidak percaya, karena memang tidak ada gosip apapun, sampai aku melihat sendiri pesan-pesan yang ia kirimkan pada temanku itu. Kekecewaanku menjadi-jadi, dan saat itu juga aku mulai berhenti berkirim pesan singkat dengannya.

Aku memutuskan untuk menyerah, sama seperti badut yang merasa anginnya terlalu kencang untuk dilewati itu. Aku tidak mau menyakiti hatiku lebih dalam lagi. Jika badut itu terjatuh saat ia memilih jalan kembali, maka aku tidak akan melakukan hal yang sama. Aku tidak akan terjatuh, tapi aku bersumpah aku akan menjadi wanita yang lebih baik lagi dan membuat ia menyesal menghempaskanku begitu saja.

Saat ini aku masih berada di atas tali itu dan akan mencapai batas akhirku. Jika aku mencapai batas itu, itu berarti aku tidak akan melewati tali yang sama. Seberapa besarpun kekecewaan yang aku alami ini, aku tidak akan pernah memutus tali itu, dengan harapan kali ini ia yang akan melewati tali itu dan melangkah ke arahku.

Cause what we had is timeless, and my love for you is endless.






Kisah ini berdasarkan kisah fiksi dengan memori nyata dari seorang wanita yang masih terjerat dalam penantiannya.

Sabtu, 25 Juli 2015

Superman

Saya tidak pernah melihat seseorang segila ini menunggu hal yang tidak mungkin. Superman katanya?

Pertama kali saya bertemu dengannya adalah ketika saya berjalan di sebuah trotoar depan apartemennya. Wanita aneh, sebut saya. Kala itu dia sedang duduk terdiam di tangga pintu masuk apartemennya. Matanya terus memandang ke jalan, seperti sedang menghitung jumlah mobil yang lewat. Dia juga membuat bisikan-bisikan aneh dan bahkan sesekali ia tersenyum. Saya agak takut ketika saya melewatinya. Apa dia waras? Apa dia seorang penyihir jahat? Entahlah, terlalu banyak rahasia yang tak saya ketahui di dunia ini.

Satu kali, saya perlu ke toko bunga didekat apartemen si wanita aneh. Sesampainya saya di depan toko bunga itu, lagi-lagi wanita itu menarik perhatian saya. Saya melihat wanita itu selalu duduk di tempat yang sama. Kali ini dia memandangi langit biru, mulutnya bergerak-gerak seperti sedang berbincang dengan seseorang. Tiba-tiba senyumnya mengembang, tapi raut mukanya tidak menunjukan sebuah kebahagiaan. Jujur saja, saya selalu terpikat oleh senyumnya, tapi bukan dengan raut muka itu.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" seorang lelaki paruh baya berdiri di depan saya dan sukses membuat jantung saya hampir copot. 
"Ah, ya. Maaf, Tuan. Saya ingin membeli beberapa tangkai bunga mawar biru," jawab saya.
"Baiklah, Tuan. Tunggu sebentar," lelaki itu pun masuk ke dalam tokonya.


Saya kembali melihat wanita itu. Dia masih terduduk di tempat yang sama, masih memandangi langit biru yang sama, tapi kali ini senyumnya telah pudar. Dia lalu menundukan kepalanya dan terdiam sejenak. Aneh, sungguh wanita yang aneh. Hanya dalam sekejap saja ekspresi wanita itu bisa berubah drastis.

"Apa Anda tertarik dengan wanita itu, Tuan?" tanya lelaki tukang bunga itu, yang lagi-lagi sukses membuat jantung saya hampir copot untuk yang kedua kalinya.
"Ah tidak, Tuan. Saya hanya saja baru kali ini memperhatikan wanita aneh itu," jawab saya sambil pura-pura menarik dompet dari saku jaket saya; menutupi kekagetan saya.
"Oh tidak, Tuan. Dia bukan wanita aneh. Dia sebenarnya wanita yang baik, sangat baik malah. Dia hanya saja sedang menunggu Superman-nya datang,"


Apa? Tunggu. Menunggu Superman? Apa Superman yang dia maksud adalah tokoh fiksi dengan jubah merah yang bisa terbang itu?

"Superman? Anda yakin, Tuan?" tanya saya heran sekaligus penasaran.
"Ya, itu yang dia katakan. Ketika saya pertama kali bertemu dengannya pun saya sama kagetnya dengan Anda. Setiap kali saya menanyakan apa yang dia lakukan di depan apartemennya, dia selalu menjawab dengan jawaban yang sama, menunggu Superman," jawab lelaki itu sambil menyerahkan bunga mawar yang tadi saya pesan.
"Lalu, apa Superman-nya itu benar-benar ada?" tanya saya lagi, semakin penasaran. 
"Saya tidak tahu, Tuan. Saya tidak pernah melihatnya dan tidak mungkin melihatnya. Wanita itu mengatakan pada saya bahwa Superman-nya hanya datang ketika saya membutuhkan bantuan. Tapi selama ini saya butuh bantuan, tidak pernah ada Superman yang datang. Banyak orang bilang wanita itu memang agak tidak waras. Tapi ada juga yang mengatakan dia adalah seorang malaikat. Entahlah, Tuan. Tapi jika memang Anda penasaran, Anda tanya saja padanya."


Lelaki itu pun masuk lagi ke dalam tokonya setelah saya memberikan 3 lembar uang dolar padanya. Saya bukan penikmat cerita fiksi, tapi saya agak penasaran dengan wanita ini. Caranya tersenyum seolah mengatakan memang dia melihat sang Superman.

Saya sengaja berjalan di trotoar seberang apartemennya, sambil sesekali memerhatikan wanita itu. Wanita itu hanya duduk, melamun mungkin. Dan bodohnya, saya malah memperhatikan wanita itu, bukan memperhatikan jalan di depan saya. Tepat di seberang wanita itu, saya tersandung lubang kecil di jalan itu dan terjatuh. Mawar yang baru saya beli terlempar dan berserakan dimana-mana, bahkan beberapa kelopaknya rusak. Ah, sial sekali saya. Saya memunguti mawar saya sambil melihat ke arah wanita itu, tapi wanita itu ternyata sudah tidak ada di tempatnya.

"Sayang sekali mawar indah ini jadi rusak," seorang wanita manis berumur sekitar 20-an berjongkok di depan saya sambil memunguti mawar saya yang jatuh. Dan ya, itulah si wanita aneh yang sukses membuat saya terjengkal ke belakang. 
"Te..terima kasih," jawab saya terbata-bata, tidak bisa menutupi kekagetan saya.
"Lebih baik Anda berhati-hati, Tuan. Superman tidak akan membantu Anda ketika Anda terjatuh seperti ini. Dia hanya akan mengirimkan seseorang untuk menolong Anda," kata wanita itu lugu.
"Su...Superman?" tanya saya bingung, sama bingungnya ketika lelaki toko bunga itu menyebutkan nama yang sama.
"Ya, Superman. Dia akan datang ketika Anda ada dalam kesulitan. Saya sedang menunggunya memberikan pertolongan untuk saya," wanita itu kini berdiri setelah memunguti semua mawar saya yang jatuh.
"Entahlah, Nona. Saya bukan orang yang percaya akan hal-hal fiksi," jawab saya sambil ikut berdiri dan mengambil mawar dari genggaman wanita itu.
"Oh, Tuan. Siapa bilang itu hal-hal fiksi? Tentu tidak, Tuan. Dia memang ada. Dia selalu ada ketika kita membutuhkannya, hanya cukup dengan meminta," katanya lagi.


Oke, sudah cukup cerita fiksinya. Saya seharusnya capet-cepat pulang dan mengerjakan tugas-tugas kantor saya sebelum kegilaan ini mempengaruhi akal sehat saya.

"Baiklah, Nona. Jika suatu saat saya butuh bantuan, saya akan memanggil Superman Anda. Saya harap Superman akan mengakhiri penantian Anda dan Anda akan segera bertemu dengannya," lalu saya pergi meninggalkan wanita itu sendirian dan mengacuhkan pernyataan konyol lainnya.

Hari ini, setelah berminggu-minggu saya mengikuti pelatihan di luar negeri, saya akhirnya pulang. Sebagai pecinta tanaman, hal pertama yang terbersit dalam otak saya adalah balkon apartemen saya, tempat saya menanam beberapa tanaman hias dan bunga-bunga kesukaan saya. Berminggu-minggu saya tidak menyiramnya, beberapa tanaman saya layu, bahkan sampai kering. 

Mata saya pun tertuju pada mawar yang saya beli saat bertemu wanita itu. Anehnya, mawar itu adalah satu-satunya tanaman yang masih segar, padahal tanahnya sangat kering. Kelopak bunga itu pun masih lengkap dan masih harum, sama seperti ketika saya pertama kali membelinya.

Melihat keanehan ini, saya pun langsung menuju toko bunga tersebut sambil setengah berlari, berharap mendapat jawaban. Jangan-jangan bunga yang saya beli adalah bunga berkekuatan mistis.

"Permisi, Tuan," sapa saya pada lelaki tukang bunga tersebut.
"Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya hangat.
"Tuan, saya adalah pria yang membeli mawar beberapa minggu yang lalu. Boleh saya bertanya sesuatu?"
"Oh ya, Tuan. Saya ingat Anda. Anda pria yang membeli beberapa mawar biru ya? Ah ya, Tuan. Saya jadi ingat, Angel menitipkan sebuah surat untuk Anda pada saya beberapa hari setelah Anda membeli mawar itu. Dia tahu Anda akan kembali ke sini jadi dia menitipkannya pada saya," 
"Angel? Siapa itu Angel?" tanya saya bingung. 
"Angel, wanita yang waktu itu Anda perhatikan. Wanita aneh kalau tidak salah kata Anda," jawab lelaki itu sambil menyodorkan suratnya.
"Ngomong-ngomong, apa yang Anda ingin tanyakan, Tuan?" lanjut pria itu.


Tanpa ingat alasan saya ke toko ini, saya langsung menerima surat itu dan membacanya; mengacuhkan lelaki tukang bunga tersebut. Surat itu ada dalam amplop kecil berwarna biru. Ketika saya membuka surat itu, tercium sedikit wangi mawar dari amplop tersebut.


Halo, Tuan Mawar.

Terima kasih telah mendoakan saya untuk bertemu sang Superman. Mungkin dalam beberapa jam kedepan setelah saya memberikan surat ini pada Tuan Robin, saya akan bertemu sang Superman. Seperti yang Anda katakan, penantian saya akan berakhir.
Sebenarnya, Tuan, saya menderita leukimia, dan ini adalah leukimia tahap akhir. Saya tidak memiliki banyak waktu untuk menikmati hidup, tapi saya tidak pernah menyesal atau mengeluh, Tuan. Toh bagi saya hidup adalah anugerah dan mati adalah sebuah keuntungan.
Seperti yang Anda tahu, Tuan, saya selalu duduk di tangga depan apartemen saya. Saya beberapa kali melihat Anda lewat, bahkan terkadang Anda memperhatikan saya. Tuan, terima kasih telah mau membuang waktu Anda untuk melihat dan memperhatikan saya.
Mungkin, atau tidak, entahlah, yang pasti saya hanya ingin Anda tahu. Di depan tangga itu saya selalu duduk, menghitung mobil-mobil yang melintas. Saya membuat berbagai keinginan dari mobil-mobil yang melintas itu, berharap mobil-mobil itu pergi menyampaikan keinginan saya pada Superman.
Oiya, saya juga sesekali melihat ke langit biru, Tuan, membayangkan bagaimana suasana surga nanti, apakah saya dan orang-orang yang memikirkan saya ditempatkan disana, atau apakah mungkin kita akan bertemu disana? Ah, tapi terlalu fiksi untuk Anda ya? Hahaha.
Bagaimana pun, terima kasih untuk segalanya, Tuan. Anda adalah salah satu orang yang dikirimkan sang Superman pada saya.

P.S: sebenarnya saat kita bertemu, saya ingin mengatakan ini: Halo, Tuan. Nama saya Angel. Bolehkah saya meminta mawar Anda? Tapi ternyata saya terlalu gugup dan malah mengagetkan Anda saat itu. Maafkan saya ya, Tuan!


Saya terdiam, tak tahu lagi apa yang harus saya lakukan atau katakan. Segala kisahnya tentang Superman, tentang pernyataan konyolnya, semua terasa lengkap bagi saya. Saya kemudian membeli beberapa mawar biru. Saya berjalan ke arah tempat yang sama saat kami bertemu, dan meletakkan bunga itu di tempat wanita itu biasa duduk sambil membuat keinginan dari mobil-mobil yang lewat ataupun memandangi langit biru.

"Mawar yang indah, Tuan. Untuk apa Anda meletakannya disini?" seorang wanita berkulit agak coklat kini berdiri di samping saya, membuat saya kaget sampai sedikit melangkah ke belakang.
"Oh maaf, Tuan. Saya seorang turis disini, saya pikir ini adalah sebuah tradisi. Nama saya Cherubim. Panggil saja saya Rubi. Ngomong-ngomong, Tuan. Saya ingin sekali mawar biru itu. Bolehkah saya memintanya?"







Cerita ini saya buat berdasarkan inspirasi dari lagu Daughtry - Waiting for Superman

Rabu, 01 Juli 2015

Keajaiban Cinta dari Setengah Cangkir Kopi Pahit

Sebuah bar tua kali ini menjadi tempat pertemuan antara aku dan Jack, kawan baruku. Kemarin setelah kami membahas talkshow yang diadakan beberapa hari yang lalu oleh Suzzane Collins, Jack tak sengaja meninggalkan dompetnya di apartemenku. Awalnya Jack mau mengambilnya ke apartemenku, tapi kupikir lebih baik kami bertemu, sekaligus menghilangkan kepenatan yang terus kukurung dalam apartemenku.

Sesampainya di bar ini, mataku mencari-cari Jack di keramaian. Karena tidak melihat sosoknya, aku duduk di hadapan bartender, berharap dia akan mengajakku bicara. Aku benci ketika aku harus duduk sendiri menunggu seseorang tanpa melakukan apapun. Tapi ternyata harapan hanyalah harapan, si bartender yang umurnya kira-kira tiga puluhan itu sibuk dengan pelanggannya.

Padahal baru lima menit berlalu sejak aku sampai disini, tapi sudah terasa tiga puluh menit. Tingkat kebosananku mulai di tahap akhir, aku perlu melakukan sesuatu!

"Bolehkah saya duduk disebelah Anda?" tanya seorang lelaki paruh baya yang sukses menyadarkanku dari lamunanku--dan kebosananku tentunya.
"Oh ya, silahkan, Tuan," sambutku ramah.

Aku mengetuk-ngetukan jariku, berharap Jack segera datang. Tidak biasanya dia datang terlambat selama ini.
"Ini pesananmu, Tuan Hamish. Setengah cangkir kopi pahit," kata si bartender sambil menyodorkan sebuah cangkir putih di hadapan lelaki itu.
"Ah, terima kasih, Philip," jawabnya.
"Setengah cangkir?" tanyaku tiba-tiba, tak bisa menutupi keanehanku karena melihatnya memesan setengah cangkir kopi tersebut.

Pria itu tertawa, tapi dengan tawa yang agak miris.
"Setengah cangkir kopi pahit itu punya kenangan tersendiri bagi saya, Tuan," matanya menerawang, mengisyaratkan kepedihan akan kenangan dari kopi tersebut.

Tuan Hamish pun perlahan-lahan mulai bercerita. Sekitar 30 tahun yang lalu, ia bertemu seorang wanita di bar ini. Wanita itu tak begitu cantik, tapi jika aku menjadi dirinya, pasti aku akan terpikat--begitu katanya. Keanggunan, tawa, dan setiap hal yang ada dalam diri si wanita mampu membuat jantungnya berdebar dan membuat angan untuk memiliki si wanita semakin melambung.

Selanjutnya, Tuan Hamish bercerita tentang keluguannya mengajak si wanita itu berkenalan, tentu saja setelah mereka beberapa kali bertemu. Wanita itu agak kaget melihat Tuan Hamish menjulurkan tangannya dan memintanya berkenalan, karena selama ini yang ia tahu, Tuan Hamish hanya mampu memandanginya dari jauh.

Si wanita menyambut uluran tangan Tuan Hamish dengan hangat, tapi sayangnya wanita itu hanya tersenyum, tanpa berkata apa-apa. Setelah kecanggungan yang terjadi, Tuan Hamish berniat untuk kembali. Tapi, kemujuran ada di pihaknya. Ia melihat setengah cangkir kopi di atas meja si wanita. Dengan agak malu, Tuan Hamish mulai bertanya tentang kopi itu. Ternyata, wanita itu tidak mampu meminum secangkir kopi sisanya sendirian.

Tuan Hamish tidak bertanya lebih jauh, ia hanya melihatnya sebagai kesempatan bagus untuk berbasa basi. Tanpa malu, ia pun duduk di depan wanita itu dan meminum setengah cangkir kopi yang tersisa. Akibat terlalu gugup, Tuan Hamish menegukan semuanya, tanpa sadar itu adalah kopi pahit. Si wanita pun tertawa geli melihat keluguan Tuan Hamish. Semenjak hal itu, mereka selalu bertemu di bar ini dan memesan satu gelas kopi pahit.

"Lalu, kali ini kenapa Anda memesan kopi itu setengah?" tanyaku, agak penasaran.
Matanya kembali menunjukan kepedihan, bahkan kali ini disertai genangan airmata di mata birunya itu.

"Ya, karena aku sudah tidak bisa bersamanya lagi. Aku meninggalkannya setelah lima tahun pernikahan kami. Aku tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup kami, apalagi ditambah dengan seorang anak lelaki," ia menghembuskan nafas panjang, menutup matanya dan mulai mengepalkan kedua tangannya, pertanda berbagai emosi tengah berkecamuk dalam hatinya. "Oh, andaikan aku mampu membalikkan waktu. Sekarang aku tidak mampu menemukan keluargaku dimanapun," lanjutnya.

Detik berikutnya, Tuan Hamish bergeming. Ia mulai menegukan seluruh kopi pahit di dalam cangkir itu, seakan berharap seluruh kepahitan hidupnya bisa ia telan dan sirna. Matanya menerawang lagi, menghembuskan nafas, dan tersenyum. Ia menatapku dan berterima kasih telah mendengarkan ceritaku.

Sesaat setelah Tuan Hamish pergi, titik-titik hujan mulai berjatuhan, seakan mereka ikut bersedih mendengar kisah Tuan Hamish. Mungkin, hujan itu ingin menyamarkan airmata penyesalan yang turun dari mata teduh Tuan Hamish.

Setelah kepergian Tuan Hamish, tak berapa lama Jack masuk dari pintu, sambil mengusap-ngusap rambutnya yang basah.

"Oh, Jacob. Maafkan saya membuatmu menunggu lama. Lift di apartemen saya tadi mati dan saya terjebak di dalamnya," kata Jack sambil terengah-engah.
"Oh tidak masalah, Jack. Tadi aku baru saja ditemani seseorang untuk berbincang,"
"Oya? Siapa dia? Seseorang yang Anda kenal?" tanyanya sambil mulai mengambil tempat di sebelahku.
"Namanya Tuan Hamish. Oh, Jack kau harus mendengarkan kisahnya. Tadi dia..."
"Siapa katamu tadi?" Jack setengah berteriak, sukses membuat jantungku hampir loncat.
"Hmm...Tuan Hamish, Jack. Dia baru saja pergi, tidak lama sebelum Anda datang. Apa Anda mengenalnya?"
"Kemana dia pergi sekarang?" tanyanya lagi, mengacuhkan pertanyaanku.
"Entahlah, dia tidak bilang apa-apa. Sepertinya mengarah ke Town Square," kataku agak bingung.

Jack pun menghambur keluar. Ia berlari, tak peduli bahwa hujan deras sedang membasahi tubuhnya saat ini.

"Jack, tunggu!" teriakku, sambil meraih dompetnya yang sedari tadi aku taruh di meja. Saat aku mulai melangkahkan kakiku, dompet Jack terjatuh. Dompet itu terbuka, memperlihatkan sebuah foto keluarga di dalamnya. Tunggu! Ini kan Tuan Hamish? Kenapa foto Tuan Hamish ada di.... Ah! Bodoh! Kenapa aku baru ingat sekarang? Nama Jack kan Jack Hamish! Dia pasti anak dari Tuan Hamish!

Tanpar berpikir panjang, aku mulai mengejar Jack. Dia berlari cukup kencang, membuatku tak sanggup mengejarnya di tengah derasnya hujan ini. Setelah berlari cukup jauh, Jack berhenti. Kakiku pun ikut berhenti, padahal jarak aku dan Jack masih beberapa meter lagi. Aku melihat Jack memeluk Tuan Hamish, sangat dekap. Mereka mulai menangis--mungkin. Entahlah, hujan membuat pandanganku kabur. Aku pun tidak mendengar apa-apa dari mereka selain kata 'ayah' dan 'maafkan aku'.

Sekarang aku mulai sadar apa yang terjadi. Aku mulai melangkah menjauh, tak ingin merusak momen bahagia mereka. Mungkinkah ini kemujuran Tuan Hamish lagi ataukah...keajaiban cinta dari setengah cangkir kopi pahit?

Selasa, 30 Juni 2015

Surat untuk Sahabatku

Halo, untuk yang kesekian kalinya.
Apa kau menghitung berapa banyak surat yang kutulis dan kukirimkan untukmu? Ya, jelas aku menghitungnya. 59 surat, dan ini adalah suratku yang 60. Aku heran, kuat sekali hatimu itu sampai-sampai tak mau membalas ke-59 suratku yang lain. Oh, tenang. Aku pun tidak mengharapkan balasan suratmu kali ini. Aku kenal baik bagaimana keras kepalanya kau. 

Oke, cukup sudah tentang surat-surat bodoh ini. Bagaimana kabarmu? Masih memetik gitar bututmu itu? Hahaha..bercanda. Aku masih ingat kok gitar usangmu itu adalah pemberian turun temurun dari keluargamu. Aku--ini serius--berharap kau baik-baik saja dan makin memukauku dengan gitarmu itu.

Ngomong-ngomong, sebenarnya surat yang kutulis kali ini punya maksud, yang jelas bukan dengan maksud membayang-bayangimu dengan keadaanku dan keluhan-keluhan dalam hidupku--walau kali ini masih tentang aku; dan kita. Kau tahu, aku mulai muak menulis surat-surat bodoh itu dan berpura-pura tidak pernah ada suatu hal pun yang terjadi di antara kita, padahal berbagai jenis pertanyaan telah bersarang di benakku. Kali ini, aku ingin membereskannya, kawan.

Maaf, beribu maaf kuucapkan padamu. Hanya itu yang bisa aku sampaikan, walau aku tahu itu tak akan pernah bisa mengobati rasa sakit hatimu akan kejadian itu, iya kan?

Apa kau masih ingat? Saat itu, di malam kita pulang dari bioskop, kau menyentuhkan bibirmu pada bibirku, lalu kau selipkan kata 'Aku mencintaimu' di dalamnya. Wanita mana yang tak kaget saat seorang pria tiba-tiba melakukan itu? Aku pun kaget setengah mati, dan tak ada yang bisa aku lakukan selain diam seperti patung di taman depan rumahmu.

Sejujurnya, saat itu aku tak pernah memikirkan untuk melangkah lebih. Kau tahu sendiri, kita telah bersama selama lebih dari 10 tahun, bahkan sudah lebih jika dibatasi kata "sahabat", dan aku tak mau mengambil resiko menghancurkan kebersamaan kita.

Maaf, sekali lagi kukatakan maaf, terutama untuk tanganku yang tiba-tiba melayang ke pipimu saat itu. Tidak hanya kau saja, aku pun tak mengira aku mampu melakukan itu. Bunyi tamparan itu pun masih terus terngiang-ngiang di telingaku sampai saat ini.

Ya, semenjak kejadian itu keadaan berubah. Aku mulai menjaga jarak denganmu, merasa canggung saat berada di dekatmu. Semakin kau meyakinkanku, semakin keras pula aku menentangnya. 
"Aku ingin kau pergi dari kehidupanku."
"Aku tidak berharap dirimu menjadi temanku."
"Aku tidak membutuhkanmu." 
Oh, jelas aku ingat. Kata-kata bodoh itu keluar begitu saja dari mulutku ini.
Mungkin itu salah satu alasan kau menghilang dan tidak pernah membalas surat-suratku, kan? Aku sadar itu kok.

Tapi kali ini, demi menyelesaikan masalah diantara kita, aku akan berkata jujur padamu. Sesungguhnya, semua yang aku ucapkan di hari itu adalah sebuah kebohongan besar. Semenjak kau membalikan badanmu dan meninggalkanku di belakangmu, ada hal aneh yang aku rasakan. Saat itu juga, aku sadar dan mengakui bahwa ada perasaan yang  tumbuh dalam hatiku untukmu. Egoku tapi tetap bersikeras, aku tak mau kehilanganmu sebagai seorang sahabat. Ah, tapi semua sudah berlalu, iya kan? Kita tak bisa memutar waktu dan mengulangi kejadian yang sama.

Aku tahu, mungkin saat ini, setelah kau membaca surat bodohku yang ke-60 ini, kau akan menyebutku orang plin-plan, pembohong, atau orang yang mempermainkan hatimu. Tapi sebenarnya tidak, aku sungguh-sungguh memerlukanmu dalam hidupku.

Maaf untuk kesekian kalinya, aku tidak bermaksud membuatmu mengorek kenangan--yang menurutmu pasti sangat pahit--ini. Aku hanya ingin kau tahu, aku tidak sepenuhnya tangguh saat aku kehilanganmu. Aku membutuhkanmu untuk melengkapi kebahagiaan dalam hidupku. Itu saja.

Oya, sebelum aku lupa, maukah kau memaafkanku? Melupakan semua masa lalu kita dan memulainya dari awal, seperti "Hai, namaku Elsa. Ayo kita berteman?". Oh, ya. Aku mengenalmu dengan baik. Kau pasti akan memaafkanku kan?

Setelah kau membaca surat ini, aku tahu kau--jika aku memang benar--akan langsung menghubungi stasiun terdekat dan memesan tiket ke rumahku. Hahaha..tidak perlu repot-repot! Aku melampirkan undangan pernikahanku bersamaan dengan surat ini. Apa aku sudah menceritakannya padamu bahwa aku akan menikah? Ah, entahlah. Yang pasti, datanglah saat itu. Acaranya digelar minggu depan (kalau memang suratku datang tepat pada waktunya). Eh, tidak. Aku, ayah dan ibu, dan calon suamiku tentunya, memaksamu untuk datang. Jangan lupa memberiku amplop yang tebal ya! Hahaha..



Dari orang yang tak bisa hidup tanpa sahabatnya,


Sahabatmu.

Rabu, 01 April 2015

Dari Aku, Pria Penuh Pesonamu

Banyak orang bilang, "jika kamu menyukainya, beritahu dan perjuangkan itu. Bukankah sebuah perjuangan akan beroleh sebuah hasil yang manis?" Atau ada juga yang bilang, "Untuk apa memperjuangkan orang yang tak pernah memperjuangkanmu?" Seandainya kau disuruh memilih, mana yang akan kau pilih? 

Biar kuceritakan kisahku. Aku adalah pria biasa. Pria yang menurutnya memiliki berjuta pesona dan bermilyar kebaikan. Aku bisa membuatnya menyukaiku dengan semua yang kumiliki: hangatnya senyumku, indahnya bola mataku, kecerdasan otakku dan hati tulusku. Tapi biar kutegaskan: itu menurutnya. Nyatanya, aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan. 

Hati tulus yang menurutnya sempurna, bagiku itu sebuah hal biasa. Aku hanya melakukan apa yang Tuhan perintahkan. Bukankah itu memang sudah sewajarnya manusia lakukan? Ataukah itu sebuah keanehan baginya sehingga membuatku terlihat unik dan berbeda? 

Hal lainnya, kecerdasan otakku. Itu hal lain yang menurutku sungguh amat wajar dan tak aneh sama sekali. Status kami adalah pelajar SMA. Tugas utama seorang pelajar adalah belajar, iya kan? Jadi, aku hanya melakukan kewajibanku untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang disekitarku, dan terutama bagi Tuhan yang memberikanku segalanya. Wajar kan? 

Lalu yang terakhir yang membuatku terlihat aneh, bukan menarik. Hangat senyumku dan indahnya bola mataku? Jujur saja, warna mataku memang cukup berbeda dibanding teman-teman lainnya. Mataku berwarna hitam pekat, sedangkan yang lain berwarna coklat tua, bahkan muda. Tapi, hangatnya senyumku? Aku pernah sengaja berdiri di depan cermin untuk melihat "hangatnya senyum"ku, tapi yang kulihat hanyalah sebuah senyum simpul biasa, bahkan terlihat seperti senyum jahat karna alisku yang cukup tebal. 

Ketika mendengar dia menyukaiku, aku cukup kaget. Aku memang menyimpan perasaan yang sama, walau terkadang bayang si masa lalu masih saja membutakanku. Aku hanya diam seribu bahasa sambil menyimpan keraguan cintanya padaku. Apa kau benar-benar jatuh cinta padaku?

Sayang, cinta tak pernah membutuhkan alasan. Apa kau akan tetap menyukaiku jika suatu saat aku berubah seratus delapan puluh derajat?

Maafkan aku, tapi aku meragukan kebersamaan kita. Aku memang menyukaimu. Tidak, mungkin lebih tepatnya aku hanya kagum padamu. Kau wanita yang luar biasa. Kau cerdas, pandai bergaul, manis, dan bahkan punya hati yang tulus. Tapi rasanya aku bukan pria yang tepat untukmu, apalagi setelah melihat kau menangis di depanku saat itu. Aku meragukan diriku yang selalu bisa membuat senyum di wajahmu. 

Maafkan aku, kumohon jangan membenciku. Percayalah, jika pada akhirnya kita akan bersama, kisah ini akan menjadi sebuah cermin kehidupan bagi kehidupan kita di masa mendatang. Jangan pernah kecewa, karena suatu hari kisah ini akan memberikan sebuah senyuman manis untuk hidup kita.

Wanitaku, terimakasih telah menghabiskan waktumu untuk mencintaiku.



Dengan penuh rasa sayang dan rasa bersalah, 

pria penuh pesonamu.