Aku merindukannya.
Aku ingat betul hari terakhir ketika
aku menghabiskan waktu bersamanya. Saat itu cuaca sangat cerah. Langit biru
hari itu ditemani matahari yang memancarkan sinarnya. Ditengah runyamnya dunia
perkotaan, kami pun memilih untuk berpiknik disalah satu taman kota dekat rumahku.
Aku begitu senang dan
bersemangat. Dibalik sibuknya dunia kerja yang menyita waktu pertemuan kami,
cinta pertamaku menyempatkan waktu disela-sela rutinitasnya untuk bisa menghabiskan
waktu bersamaku. Kami memililh menikmati indahnya hari itu dibawah sebuah pohon
yang rindang dan menghabiskan makanan-makanan kecil yang sengaja kubuat untuk
kami berpiknik.
Ditengah tawa canda yang kami
lakukan, aku melihat seorang pria yang aku kenal baik berdiri tidak jauh dari
tempat kami. Pria itu tersenyum kearah kami, namun senyumnya itu adalah yang sama
sekali tidak aku sukai. Cinta pertamaku langsung menemui pria itu. Raut wajah
mereka begitu serius saat itu. Ditengah-tengah percakapan serius mereka, sesekali
mereka melihat kearahku. Sungguh, betapa aku ingin mengusir pria itu.
Kecemasanku bertambah ketika
cinta pertamaku berjalan kearahku, kali itu dengan dipenuhi wajah penyesalan.
Selanjutnya aku tidak ingat apa yang terjadi, selain kata-kata terakhir yang ia
lontarkan, “Tersenyumlah, aku akan segera kembali. Tunggu aku.”
Bertahun-tahun berlalu, penantianku
terhadap cinta pertamaku pudar. Aku sudah bertanya pada orang-orang
disekitarnya, namun hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada satu orang pun yang tahu
keberadaannya atau apa yang terjadi dengannya. Sejak saat itu, aku pun berhenti
berharap.
Kini aku berdiri di depan pintu
masuk altar gereja memakai gaun putih dan menggenggam sebuket bunga mawar, sama seperti yang selama ini aku impikan.
Seorang pria yang telah kuberikan hatiku seutuhnya, menungguku di depan
altar dengan senyuman terindahnya. Namun dibalik semua kebahagiaan yang aku
rasakan saat ini, aku merasa kurang. Aku seakan tak bisa mengucapkan janji ‘sampai
maut memisahkan’ kami hari ini.
Airmataku membendung, tapi aku
berusaha menahannya. Aku merindukannya. Aku merindukan cinta pertamaku. Seandainya
saat ini…
“Rose,” seseorang yang suaranya
begitu aku kenal memanggilku dari belakang.
‘Tidak mungkin,’ batinku. Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Sosok
gagah yang selama ini aku rindukan berada beberapa meter dibelakangku. Ia
mengenakan jas rapinya, tetapi beberapa bekas luka terlihat diwajah cerianya.
Tangisku pecah, aku tak mampu
lagi membendung kebahagiaanku saat
itu. Ia kemudian berjalan kearahku sambil tersenyum.
“Tidak, tidak. Kau tidak boleh
menangis dihari bahagiamu ini,” katanya. “Terima kasih sudah menungguku.”
Tanpa berpikir panjang aku hambur
dalam pelukannya. Ia memelukku begitu erat, tetapi kemudian perlahan ia
melepaskannya. Ia menatap mataku dalam sambil menghapus airmata yang telah
jatuh ke pipiku.
“Lihat, make up-mu nanti luntur. Apa kau secengeng ini dulu?” godanya.
Tangisku makin pecah kali itu, tetapi ia malah menertawaiku. “Sudahlah, aku
sudah kembali, aku sudah menepati janjiku. Kini kau juga harus tersenyum, pria
disebrang altar ini menunggumu,” lanjutnya sambil mengusap pipiku.
Ia kemudian melingkarkan tanganku
pada tangannya, lalu tersenyum. Aku membalas senyum manisnya yang sudah sangat
lama aku rindukan.
“Terima kasih telah menepati
janjimu untuk kembali, Ayah.”
Kami pun melangkahkan kaki dan
berjalan menuju ke altar. Cinta pertamaku telah kembali, dan akan
mengantarkanku memulai kehidupan yang baru dengan cinta sejatiku.
Didedikasikan untuk seluruh Ayah di dunia, dari kami yang walau tak pernah mengungkapan perasaan kami, namun kami mencintai Ayah!
Didedikasikan untuk seluruh Ayah di dunia, dari kami yang walau tak pernah mengungkapan perasaan kami, namun kami mencintai Ayah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar