Ketika mulut tak bisa berkata, maka kuungkapkan semua dalam rangkaian kata

Rabu, 15 Juni 2016

Cinta Pertama



Aku merindukannya.

Aku ingat betul hari terakhir ketika aku menghabiskan waktu bersamanya. Saat itu cuaca sangat cerah. Langit biru hari itu ditemani matahari yang memancarkan sinarnya. Ditengah runyamnya dunia perkotaan, kami pun memilih untuk berpiknik disalah satu taman kota dekat rumahku.

Aku begitu senang dan bersemangat. Dibalik sibuknya dunia kerja yang menyita waktu pertemuan kami, cinta pertamaku menyempatkan waktu disela-sela rutinitasnya untuk bisa menghabiskan waktu bersamaku. Kami memililh menikmati indahnya hari itu dibawah sebuah pohon yang rindang dan menghabiskan makanan-makanan kecil yang sengaja kubuat untuk kami berpiknik.

Ditengah tawa canda yang kami lakukan, aku melihat seorang pria yang aku kenal baik berdiri tidak jauh dari tempat kami. Pria itu tersenyum kearah kami, namun senyumnya itu adalah yang sama sekali tidak aku sukai. Cinta pertamaku langsung menemui pria itu. Raut wajah mereka begitu serius saat itu. Ditengah-tengah percakapan serius mereka, sesekali mereka melihat kearahku. Sungguh, betapa aku ingin mengusir pria itu.

Kecemasanku bertambah ketika cinta pertamaku berjalan kearahku, kali itu dengan dipenuhi wajah penyesalan. Selanjutnya aku tidak ingat apa yang terjadi, selain kata-kata terakhir yang ia lontarkan, “Tersenyumlah, aku akan segera kembali. Tunggu aku.”

Bertahun-tahun berlalu, penantianku terhadap cinta pertamaku pudar. Aku sudah bertanya pada orang-orang disekitarnya, namun hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada satu orang pun yang tahu keberadaannya atau apa yang terjadi dengannya. Sejak saat itu, aku pun berhenti berharap.

Kini aku berdiri di depan pintu masuk altar gereja memakai gaun putih dan menggenggam sebuket bunga mawar, sama seperti yang selama ini aku impikan. Seorang pria yang telah kuberikan hatiku seutuhnya, menungguku di depan altar dengan senyuman terindahnya. Namun dibalik semua kebahagiaan yang aku rasakan saat ini, aku merasa kurang. Aku seakan tak bisa mengucapkan janji ‘sampai maut memisahkan’ kami hari ini.

Airmataku membendung, tapi aku berusaha menahannya. Aku merindukannya. Aku merindukan cinta pertamaku. Seandainya saat ini…

“Rose,” seseorang yang suaranya begitu aku kenal memanggilku dari belakang. 

‘Tidak mungkin,’ batinku. Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Sosok gagah yang selama ini aku rindukan berada beberapa meter dibelakangku. Ia mengenakan jas rapinya, tetapi beberapa bekas luka terlihat diwajah cerianya.

Tangisku pecah, aku tak mampu lagi membendung kebahagiaanku saat itu. Ia kemudian berjalan kearahku sambil tersenyum.

“Tidak, tidak. Kau tidak boleh menangis dihari bahagiamu ini,” katanya. “Terima kasih sudah menungguku.”

Tanpa berpikir panjang aku hambur dalam pelukannya. Ia memelukku begitu erat, tetapi kemudian perlahan ia melepaskannya. Ia menatap mataku dalam sambil menghapus airmata yang telah jatuh ke pipiku.

“Lihat, make up-mu nanti luntur. Apa kau secengeng ini dulu?” godanya. Tangisku makin pecah kali itu, tetapi ia malah menertawaiku. “Sudahlah, aku sudah kembali, aku sudah menepati janjiku. Kini kau juga harus tersenyum, pria disebrang altar ini menunggumu,” lanjutnya sambil mengusap pipiku.

Ia kemudian melingkarkan tanganku pada tangannya, lalu tersenyum. Aku membalas senyum manisnya yang sudah sangat lama aku rindukan.

“Terima kasih telah menepati janjimu untuk kembali, Ayah.”

Kami pun melangkahkan kaki dan berjalan menuju ke altar. Cinta pertamaku telah kembali, dan akan mengantarkanku memulai kehidupan yang baru dengan cinta sejatiku.





Didedikasikan untuk seluruh Ayah di dunia, dari kami yang walau tak pernah mengungkapan perasaan kami, namun kami mencintai Ayah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar