Langit biru kini telah mengganti warnanya menjadi jingga. Hari itu terasa begitu berat, teman-teman kampusku tidak hadir, padahal hari ini ada presentasi kelompok. Belum lagi kemarin aku bertengkar dengan Min Yoongi, pria dingin yang tiap harinya memenuhi benakku ini tak henti-hentinya membuatku penat. Pertengkaran kami kemarin sebenarnya hanyalah hal kecil, kemarin aku mengajaknya berolahraga bersama, tapi ia terlalu malas menggerakkan badannya. Pada akhirnya, ia meninggalkanku sendiri dan hanya duduk diam memainkan ponselnya.
Aktivitas kampusku akhir-akhir ini memang melelahkan, apalagi mengingat aku yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswi semester akhir. Ditengah silaunya matahari sore itu, aku berjalan menuruni tangga dengan gundukan kertas digenggamanku, sampai tiba-tiba seseorang berlari menabrakku, membuat kertas-kertasku berserakkan. Aku menarik napas panjang lalu menatap sinis pria itu sebelum akhirnya aku sadar bahwa Park Jimin-lah yang menabrakku.
"Oh? Kau? Maafkan aku!" kata Jimin.
"Sudahlah, tidak apa-apa," kataku sambil memberikan senyum yang dipaksakan pada Jimin.
Jimin yang merupakan temanku sejak masuk ke universitas ini mengerti kondisiku dan kembali bertanya. "Kau baik-baik saja? Apa Yoongi hyung lagi?"
Aku tersenyum singkat pada Jimin lalu aku menunduk hendak memunguti kertas-kertasku yang berserakan, hingga tiba-tiba mataku menangkap sosok Yoongi yang berjalan kearahku.
Seperti biasa, ia memakai topi, kaos oblong, dan celana ripped jeans-nya. Jimin yang hendak membantuku memunguti kertas langsung terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri tepat didepan kami.
"Hyung!" panggil Jimin.
"Kau sudah mau pulang?" tanyanya sambil berdiri angkuh didepanku dan Jimin.
Tunggu, angkuh? Tidak. Mungkin angkuh bukan kata yang tepat untuk pria seperti Yoongi. Sosok keren dan dinginnya memang sangat terlihat angkuh, tapi pada kenyataannya dia benar-benar sosok pria yang banyak dipuja-puja para wanita.
"Ya, hyung. Aku sudah mau pulang," jawab Jimin sambil tersenyum manis pada Yoongi.
Aku mengangkat sebelah alisku dan menatap Yoongi malas, sedangkan Yoongi memutar kedua bola matanya.
"Bukan kau, Jimin-ah," kata Yoongi dan diiringi oleh suara tawa malu dari Jimin. "Jadi, kau mau pulang sekarang?" tanya Yoongi lagi, kali ini Jimin tidak menjawab apapun selain masih membantuku memunguti kertas-kertasku. Aku hanya mengangguk pelan dan tidak ingin menatapnya.
"Kau masih marah padaku?" tanyanya lagi.
"Bagaimana mungkin dia sudah tidak marah padamu, hyung. Kau bahkan tidak peka membantunya mengambil kertas-kertas ini," kata Jimin lalu memberikan tumpukan kertas yang tadi ia punguti padaku.
"Hey, aku hanya malas saja berjongkok untuk memunguti kertas-kertas itu," jawab Yoongi datar.
Aku kemudian berdiri dan menghela napas panjang. Bahkan untuk membantuku saja dia malas? Aku hendak membuka mulutku untuk menimpali pernyataannya tadi, tapi aku mengurungkan niatku dan malah menatapnya dingin.
"Oh? Itu Jungkook! Aku duluan ya, hyung! Oh, dan maaf soal menabrakmu tadi," kata Jimin sambil berlalu. "Dan cobalah berhenti bersikap dingin, hyung!" teriak Jimin dari kejauhan.
Kini aku dan Yoongi tinggal berdua dan berdiri berhadapan. Yoongi masih menatapku dan menunggu jawaban dariku, tapi aku membuang mukaku kearah Jimin dan Jungkook yang berjalan dikejauhan. Tidak ingin kecanggungan ini terus berlanjut, aku pun berjalan melewati Yoongi, namun langkahnya yang lebih panjang menyusulku. Ditariknya tanganku kasar dan membuatku merintih. Ia sempat berhenti saat mendengar rintihanku, kemudian ia melonggarkan genggamannya. Entah mengapa aku saat itu tidak bisa memberontak. Aku hanya mengikuti kemauannya dan masuk kedalam mobil berjenis sedan milik Yoongi.
Keheningan terjadi saat kami berdua didalam mobil. "Kita mau kemana?" tanyaku setelah sadar ketika mobilnya tidak melaju kearah rumahku.
Yoongi hanya terdiam dengan muka datarnya. Ia berkonsentrasi pada jalanan yang hari itu cukup padat. Maklum saja, saat itu jam menunjukkan waktu orang-orang pulang kerja.
"Sunbae, kita mau kemana?" tanyaku lagi. Lagi, dengan sikap dinginnya yang begitu menyebalkan, ia hanya menatapku sepintas sambil menyunggingkan senyum ujung bibirnya.
Hari mulai gelap ketika Yoongi menghentikan mobilnya disebuah tempat yang sangat sepi. Tidak ada apapun ditempat itu, selain sebuah gudang besar yang kelihatannya sudah tidak terpakai lagi.
"Kita ada dimana sekarang?" tanyaku panik. Aku kembali melihat sekelilingku, tapi semuanya tidak terlalu jelas, belum lagi aku yang berrabun jauh tidak bisa melihat segala sesuatunya dengan jelas.
Tanpa aku sadari, Yoongi keluar dari mobil dan meninggalkanku sendirian didalam mobil.
"Yoongi! Yoongi!" panggilku panik. Airmata mulai membendung dikedua bola mataku. Aku benar-benar takut dan panik. Buru-buru aku melepaskan sabuk pengamanku dan berlari kecil mengejar Yoongi yang sudah masuk kedalam gudang tersebut.
"Yoongi!" Aku berteriak memanggilnya ketika aku tidak bisa menemukan Yoongi didalam gudang yang penuh dengan berbagai kotak kayu. Airmata mulai jatuh dikedua pipiku. Remangnya cahaya membuat suasana gudang begitu menyeramkan.
Tiba-tiba aku mendengar dentingan piano. Aku makin takut, imajinasiku mulai bermain liar.
"Yoongi!" panggilku hampir berbisik. Aku benar-benar tidak bisa menggerakkan kakiku, namun aku memaksakannya untuk melangkah. Dibalik tumpukan kotak-kotak kayu, aku menemukan sosok Yoongi yang tersorot cahaya duduk didepan sebuah piano hitam. Jari-jarinya menekan tuts-tuts piano, menjadikannya melodi-melodi indah.
Aku menangis kencang setelah melihat Yoongi dan menjatuhkan diri setelah kakiku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Yoongi menghentikan permainan pianonya, lalu berlari kecil kearahku.
"Kenapa? Kau baik-baik saja?" tanya Yoongi sambil mengecek kondisi tubuhku.
"Aku...aku takut," kataku sambil berusaha menenangkan napasku yang masih memburu.
Yoongi tertawa ketika mendengar jawabanku, kemudian ia berkata, "Hey, bukankah ini romantis?" Yoongi mengacak-ngacak kecil rambutku sambil terus tertawa.
"Tidak! Sama sekali tidak! Di gudang tua seperti ini aku ditinggalkan sendiri, lalu tiba-tiba dentingan piano muncul, kau pikir ini romantis?! Belum lagi tatapan menyebalkanmu! Kupikir kau...kau..." kataku setengah berteriak.
Yoongi tertawa lagi, kali ini dengan tawa yang lebih keras. "Apa? Pembunuh? Atau mafia? Haha... Sepertinya kau harus berhenti menonton drama misteri," katanya sambil tertawa lalu membantuku berdiri.
Ia menggenggam tanganku dan mengajakku berjalan kearah piano. Ia kembali duduk didepan piano dan menyuruhku untuk duduk disampingnya. Aku tersenyum kecil ketika jari-jarinya sudah siap diatas tuts-tuts hitam dan putih piano.
"Kau memang tahu banyak tentangku, Yoongi," kataku sambil menghapus kedua airmataku.
Yoongi menatapku dengan tatapan bingung. "Maksudmu?" tanyanya.
"Piano. Kau tahu kan aku sangat suka pria yang bermain piano?"
Yoongi tertawa kecil sambil menatapku, mengisyaratkan bahwa sebenarnya ia lupa. Aku hanya bisa menatapnya sinis, kupikir dia benar-benar pria romantis.
Jari-jarinya mulai mendetingkan tuts-tuts piano lagi, sebuah lagu I Need You mulai menggema dalam sepinya gudang tersebut.
"Haruskah aku bernyanyi juga?" tanyanya sambil memberikan senyum jahilnya.
Aku menatapnya tidak percaya lalu menggelengkan kepalaku keras-keras. "Tidakk!" jawabku mentah-mentah.
Tanpa mendengar pendapatku, ia kemudian bernyanyi sambil berteriak, membuatku tak bisa menahan tawa.
Min Yoongi, pria dingin yang walaupun tidak romantis seperti pria lainnya, tetapi ia selalu berusaha keras membuatku tersenyum.
Cerita ini hanyalah fanfiction, Min Yoongi adalah seorang member boyband BTS yang dikenal dengan nama Suga. 화이팅, 슈가 씨 !!💕
Tidak ada komentar:
Posting Komentar