Ketika mulut tak bisa berkata, maka kuungkapkan semua dalam rangkaian kata

Minggu, 11 September 2016

Sorry, Thankyou, Love

I'll be such a liar if I told you that I never remember every little things we did.

Sudah tak terhitung lagi berapa kali matahari dan bulan bergantian menemani kehidupan kita. Tidak, yang kumaksud bukan kita yang masih bersama, tapi kita yang sudah tak saling mengenal.

Jujur saja, sesekali aku teringat padamu, dan pada setiap kenangan yang pernah kita ukir walau tidak banyak waktu yang kita habiskan bersama.

Bukan maksudku ingin mengingat-ngingat kenyataan (yang mungkin) pahit untukmu dan aku. Tapi kenangan itu tiba-tiba terlintas begitu saja dibenakku tanpa kuundang.

Lagi-lagi, setiap kenangan itu muncul, rasa bersalah menghantuiku. Aku mengatakan yang sesungguhnya. Aku tidak pernah bisa terlepas dari rasa sesalku atas apa yang pernah kulakukan.

Aku tak menyangka, hal kecil yang kulakukan dan kuutarakan akan meninggalkan bekas luka yang dalam padamu. Tapi percayalah, aku benar-benar tidak bermaksud menyakiti siapapun.

Aku sendiri tidak bisa memaafkan diriku atas apa yang kulakukan, maka aku tidak mengharapkan banyak hal darimu. Bahkan aku tak bisa membayangkan diriku jika harus bertemu dan menghadapimu.

Suratku ini (yang tidak berupa secarik kertas) kutuliskan untukmu, pria lugu yang pernah memberikan hatinya untukku, namun aku mempermainkannya begitu saja. Sekali lagi maafkan aku.

Terimakasih, telah menjadi salah satu kisah manis dalam hidupku. Aku benar-benar mengharapkan kebaikan terjadi dalam setiap langkah hidupmu, dan aku berdoa pada Tuhan untuk selalu menyertai dan memberkatimu dimanapun kau ditempatkan.

Dari wanita yang pernah kau banggakan dalam hidupmu, tapi berakhir dengan pengkhianatan

Aku.



Selamat kesekian tahunnya hidup dalam dunia!

Jumat, 05 Agustus 2016

I Need You, Girl

Langit biru kini telah mengganti warnanya menjadi jingga. Hari itu terasa begitu berat, teman-teman kampusku tidak hadir, padahal hari ini ada presentasi kelompok. Belum lagi kemarin aku bertengkar dengan Min Yoongi, pria dingin yang tiap harinya memenuhi benakku ini tak henti-hentinya membuatku penat. Pertengkaran kami kemarin sebenarnya hanyalah hal kecil, kemarin aku mengajaknya berolahraga bersama, tapi ia terlalu malas menggerakkan badannya. Pada akhirnya, ia meninggalkanku sendiri dan hanya duduk diam memainkan ponselnya.

Aktivitas kampusku akhir-akhir ini memang melelahkan, apalagi mengingat aku yang sebentar lagi akan menjadi mahasiswi semester akhir. Ditengah silaunya matahari sore itu, aku berjalan menuruni tangga dengan gundukan kertas digenggamanku, sampai tiba-tiba seseorang berlari menabrakku, membuat kertas-kertasku berserakkan. Aku menarik napas panjang lalu menatap sinis pria itu sebelum akhirnya aku sadar bahwa Park Jimin-lah yang menabrakku.
"Oh? Kau? Maafkan aku!" kata Jimin.
"Sudahlah, tidak apa-apa," kataku sambil memberikan senyum yang dipaksakan pada Jimin.

Jimin yang merupakan temanku sejak masuk ke universitas ini mengerti kondisiku dan kembali bertanya. "Kau baik-baik saja? Apa Yoongi hyung lagi?"
Aku tersenyum singkat pada Jimin lalu aku menunduk hendak memunguti kertas-kertasku yang berserakan, hingga tiba-tiba mataku menangkap sosok Yoongi yang berjalan kearahku.

Seperti biasa, ia memakai topi, kaos oblong, dan celana ripped jeans-nya. Jimin yang hendak membantuku memunguti kertas langsung terhenti ketika ia melihat seseorang berdiri tepat didepan kami.
"Hyung!" panggil Jimin.
"Kau sudah mau pulang?" tanyanya sambil berdiri angkuh didepanku dan Jimin.
Tunggu, angkuh? Tidak. Mungkin angkuh bukan kata yang tepat untuk pria seperti Yoongi. Sosok keren dan dinginnya memang sangat terlihat angkuh, tapi pada kenyataannya dia benar-benar sosok pria yang banyak dipuja-puja para wanita.
"Ya, hyung. Aku sudah mau pulang," jawab Jimin sambil tersenyum manis pada Yoongi.
Aku mengangkat sebelah alisku dan menatap Yoongi malas, sedangkan Yoongi memutar kedua bola matanya.
"Bukan kau, Jimin-ah," kata Yoongi dan diiringi oleh suara tawa malu dari Jimin. "Jadi, kau mau pulang sekarang?" tanya Yoongi lagi, kali ini Jimin tidak menjawab apapun selain masih membantuku memunguti kertas-kertasku. Aku hanya mengangguk pelan dan tidak ingin menatapnya.
"Kau masih marah padaku?" tanyanya lagi.
"Bagaimana mungkin dia sudah tidak marah padamu, hyung. Kau bahkan tidak peka membantunya mengambil kertas-kertas ini," kata Jimin lalu memberikan tumpukan kertas yang tadi ia punguti padaku.
"Hey, aku hanya malas saja berjongkok untuk memunguti kertas-kertas itu," jawab Yoongi datar.
Aku kemudian berdiri dan menghela napas panjang. Bahkan untuk membantuku saja dia malas? Aku hendak membuka mulutku untuk menimpali pernyataannya tadi, tapi aku mengurungkan niatku dan malah menatapnya dingin.

"Oh? Itu Jungkook! Aku duluan ya, hyung! Oh, dan maaf soal menabrakmu tadi," kata Jimin sambil berlalu. "Dan cobalah berhenti bersikap dingin, hyung!" teriak Jimin dari kejauhan.

Kini aku dan Yoongi tinggal berdua dan berdiri berhadapan. Yoongi masih menatapku dan menunggu jawaban dariku, tapi aku membuang mukaku kearah Jimin dan Jungkook yang berjalan dikejauhan. Tidak ingin kecanggungan ini terus berlanjut, aku pun berjalan melewati Yoongi, namun langkahnya yang lebih panjang menyusulku. Ditariknya tanganku kasar dan membuatku merintih. Ia sempat berhenti saat mendengar rintihanku, kemudian ia melonggarkan genggamannya. Entah mengapa aku saat itu tidak bisa memberontak. Aku hanya mengikuti kemauannya dan masuk kedalam mobil berjenis sedan milik Yoongi.

Keheningan terjadi saat kami berdua didalam mobil. "Kita mau kemana?" tanyaku setelah sadar ketika mobilnya tidak melaju kearah rumahku.

Yoongi hanya terdiam dengan muka datarnya. Ia berkonsentrasi pada jalanan yang hari itu cukup padat. Maklum saja, saat itu jam menunjukkan waktu orang-orang pulang kerja.

"Sunbae, kita mau kemana?" tanyaku lagi. Lagi, dengan sikap dinginnya yang begitu menyebalkan, ia hanya menatapku sepintas sambil menyunggingkan senyum ujung bibirnya.

Hari mulai gelap ketika Yoongi menghentikan mobilnya disebuah tempat yang sangat sepi. Tidak ada apapun ditempat itu, selain sebuah gudang besar yang kelihatannya sudah tidak terpakai lagi.
"Kita ada dimana sekarang?" tanyaku panik. Aku kembali melihat sekelilingku, tapi semuanya tidak terlalu jelas, belum lagi aku yang berrabun jauh tidak bisa melihat segala sesuatunya dengan jelas.

Tanpa aku sadari, Yoongi keluar dari mobil dan meninggalkanku sendirian didalam mobil.
"Yoongi! Yoongi!" panggilku panik. Airmata mulai membendung dikedua bola mataku. Aku benar-benar takut dan panik. Buru-buru aku melepaskan sabuk pengamanku dan berlari kecil mengejar Yoongi yang sudah masuk kedalam gudang tersebut.
"Yoongi!" Aku berteriak memanggilnya ketika aku tidak bisa menemukan Yoongi didalam gudang yang penuh dengan berbagai kotak kayu. Airmata mulai jatuh dikedua pipiku. Remangnya cahaya membuat suasana gudang begitu menyeramkan.

Tiba-tiba aku mendengar dentingan piano. Aku makin takut, imajinasiku mulai bermain liar.
"Yoongi!" panggilku hampir berbisik. Aku benar-benar tidak bisa menggerakkan kakiku, namun aku memaksakannya untuk melangkah. Dibalik tumpukan kotak-kotak kayu, aku menemukan sosok Yoongi yang tersorot cahaya duduk didepan sebuah piano hitam. Jari-jarinya menekan tuts-tuts piano, menjadikannya melodi-melodi indah.

Aku menangis kencang setelah melihat Yoongi dan menjatuhkan diri setelah kakiku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Yoongi menghentikan permainan pianonya, lalu berlari kecil kearahku.
"Kenapa? Kau baik-baik saja?" tanya Yoongi sambil mengecek kondisi tubuhku.
"Aku...aku takut," kataku sambil berusaha menenangkan napasku yang masih memburu.
Yoongi tertawa ketika mendengar jawabanku, kemudian ia berkata, "Hey, bukankah ini romantis?" Yoongi mengacak-ngacak kecil rambutku sambil terus tertawa.
"Tidak! Sama sekali tidak! Di gudang tua seperti ini aku ditinggalkan sendiri, lalu tiba-tiba dentingan piano muncul, kau pikir ini romantis?! Belum lagi tatapan menyebalkanmu! Kupikir kau...kau..." kataku setengah berteriak.

Yoongi tertawa lagi, kali ini dengan tawa yang lebih keras. "Apa? Pembunuh? Atau mafia? Haha... Sepertinya kau harus berhenti menonton drama misteri," katanya sambil tertawa lalu membantuku berdiri.

Ia menggenggam tanganku dan mengajakku berjalan kearah piano. Ia kembali duduk didepan piano dan menyuruhku untuk duduk disampingnya. Aku tersenyum kecil ketika jari-jarinya sudah siap diatas tuts-tuts hitam dan putih piano.

"Kau memang tahu banyak tentangku, Yoongi," kataku sambil menghapus kedua airmataku.
Yoongi menatapku dengan tatapan bingung. "Maksudmu?" tanyanya.
"Piano. Kau tahu kan aku sangat suka pria yang bermain piano?"
Yoongi tertawa kecil sambil menatapku, mengisyaratkan bahwa sebenarnya ia lupa. Aku hanya bisa menatapnya sinis, kupikir dia benar-benar pria romantis.

Jari-jarinya mulai mendetingkan tuts-tuts piano lagi, sebuah lagu I Need You mulai menggema dalam sepinya gudang tersebut.
"Haruskah aku bernyanyi juga?" tanyanya sambil memberikan senyum jahilnya.
Aku menatapnya tidak percaya lalu menggelengkan kepalaku keras-keras. "Tidakk!" jawabku mentah-mentah.
Tanpa mendengar pendapatku, ia kemudian bernyanyi sambil berteriak, membuatku tak bisa menahan tawa.
Min Yoongi, pria dingin yang walaupun tidak romantis seperti pria lainnya, tetapi ia selalu berusaha keras membuatku tersenyum.

Cerita ini hanyalah fanfiction, Min Yoongi adalah seorang member boyband BTS yang dikenal dengan nama Suga. 화이팅, 슈가 씨 !!💕

Rabu, 15 Juni 2016

Cinta Pertama



Aku merindukannya.

Aku ingat betul hari terakhir ketika aku menghabiskan waktu bersamanya. Saat itu cuaca sangat cerah. Langit biru hari itu ditemani matahari yang memancarkan sinarnya. Ditengah runyamnya dunia perkotaan, kami pun memilih untuk berpiknik disalah satu taman kota dekat rumahku.

Aku begitu senang dan bersemangat. Dibalik sibuknya dunia kerja yang menyita waktu pertemuan kami, cinta pertamaku menyempatkan waktu disela-sela rutinitasnya untuk bisa menghabiskan waktu bersamaku. Kami memililh menikmati indahnya hari itu dibawah sebuah pohon yang rindang dan menghabiskan makanan-makanan kecil yang sengaja kubuat untuk kami berpiknik.

Ditengah tawa canda yang kami lakukan, aku melihat seorang pria yang aku kenal baik berdiri tidak jauh dari tempat kami. Pria itu tersenyum kearah kami, namun senyumnya itu adalah yang sama sekali tidak aku sukai. Cinta pertamaku langsung menemui pria itu. Raut wajah mereka begitu serius saat itu. Ditengah-tengah percakapan serius mereka, sesekali mereka melihat kearahku. Sungguh, betapa aku ingin mengusir pria itu.

Kecemasanku bertambah ketika cinta pertamaku berjalan kearahku, kali itu dengan dipenuhi wajah penyesalan. Selanjutnya aku tidak ingat apa yang terjadi, selain kata-kata terakhir yang ia lontarkan, “Tersenyumlah, aku akan segera kembali. Tunggu aku.”

Bertahun-tahun berlalu, penantianku terhadap cinta pertamaku pudar. Aku sudah bertanya pada orang-orang disekitarnya, namun hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada satu orang pun yang tahu keberadaannya atau apa yang terjadi dengannya. Sejak saat itu, aku pun berhenti berharap.

Kini aku berdiri di depan pintu masuk altar gereja memakai gaun putih dan menggenggam sebuket bunga mawar, sama seperti yang selama ini aku impikan. Seorang pria yang telah kuberikan hatiku seutuhnya, menungguku di depan altar dengan senyuman terindahnya. Namun dibalik semua kebahagiaan yang aku rasakan saat ini, aku merasa kurang. Aku seakan tak bisa mengucapkan janji ‘sampai maut memisahkan’ kami hari ini.

Airmataku membendung, tapi aku berusaha menahannya. Aku merindukannya. Aku merindukan cinta pertamaku. Seandainya saat ini…

“Rose,” seseorang yang suaranya begitu aku kenal memanggilku dari belakang. 

‘Tidak mungkin,’ batinku. Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Sosok gagah yang selama ini aku rindukan berada beberapa meter dibelakangku. Ia mengenakan jas rapinya, tetapi beberapa bekas luka terlihat diwajah cerianya.

Tangisku pecah, aku tak mampu lagi membendung kebahagiaanku saat itu. Ia kemudian berjalan kearahku sambil tersenyum.

“Tidak, tidak. Kau tidak boleh menangis dihari bahagiamu ini,” katanya. “Terima kasih sudah menungguku.”

Tanpa berpikir panjang aku hambur dalam pelukannya. Ia memelukku begitu erat, tetapi kemudian perlahan ia melepaskannya. Ia menatap mataku dalam sambil menghapus airmata yang telah jatuh ke pipiku.

“Lihat, make up-mu nanti luntur. Apa kau secengeng ini dulu?” godanya. Tangisku makin pecah kali itu, tetapi ia malah menertawaiku. “Sudahlah, aku sudah kembali, aku sudah menepati janjiku. Kini kau juga harus tersenyum, pria disebrang altar ini menunggumu,” lanjutnya sambil mengusap pipiku.

Ia kemudian melingkarkan tanganku pada tangannya, lalu tersenyum. Aku membalas senyum manisnya yang sudah sangat lama aku rindukan.

“Terima kasih telah menepati janjimu untuk kembali, Ayah.”

Kami pun melangkahkan kaki dan berjalan menuju ke altar. Cinta pertamaku telah kembali, dan akan mengantarkanku memulai kehidupan yang baru dengan cinta sejatiku.





Didedikasikan untuk seluruh Ayah di dunia, dari kami yang walau tak pernah mengungkapan perasaan kami, namun kami mencintai Ayah!

Selasa, 01 Maret 2016

Butterfly

You're a pretty butterfly
You keep flying and circling around with your wings spread
Just to make me spellbound
But then you fly too high, too far that I can't reach
I want to keep you, but it could hurt you
So I'll let you go
To reach your dream, to reach your happiness
And if you can't find all that you want
And if you find yourself disappointed
Then come and search for me
I still don't know if I'll always here
Waiting for you to come back
Cause I have even questioned myself
Could I forget you, my butterfly?

Kamis, 18 Februari 2016

Penggemar Chocolate Cake-ku

“Selamat datang kepada para finalis kontes memasak hari ini. Hari ini merupakan hari penentu kalian, apakah kalian bisa manjadi salah satu bagian dari Luxurious Restaurant ini. Pada hari ini kalian dibebaskan memasak apapun dalam waktu 90 menit, tapi masakan kalian diwajibkan membawa rasa terhadap kenangan masa lalu. Para finalis dipersilahkan mengambil bahan makanan di rak-rak yang telah tersedia. Untuk mempersingkat waktu, kompetisi ini akan dimulai pada hitungan saya yang ketiga. Para finalis siap? Satu, dua, tiga!”


***


“Doorrr!” seorang wanita memelukku dari belakang dan sukses mengagetkanku.

“Astaga! Kok kamu bisa masuk?” tanyaku terkejut, tidak menyangka wanitaku sudah berdiri dibelakangku.

“Kamu sih terlalu konsentrasi bikin kuenya. Aku dari tadi ketuk-ketuk pintu rumah kamu tahu, tapi gak ada yang jawab. Untung pintunya gak di kunci, jadi ya aku masuk aja,” ujar wanitaku ini sambil melonggarkan pelukannya dan berdiri disampingku.

“Oya? Maafkan aku. Soalnya aku kan lagi bikin kue spesial di hari yang spesial untuk orang yang spesial pula,” godaku sambil menyentuh hidung mancungnya itu.

“Hahaha…aku gak tahu harus tersanjung atau geli. Jadi, chocolate cake-ku sudah siap? Yuk, makan. Aku bawain kamu jus nih,”


***


Aku dan para finalis lain berlari secepat mungkin kearah rak-rak bahan makanan sambil menenteng keranjang. Aku secepat mungkin memasukkan bahan-bahan yang aku butuhkan ke keranjangku: terigu, telur, coklat bubuk, gula, garam, baking soda dan baking powder. Apalagi ya? Entahlah. Otakku selalu buntu jika harus dikejar waktu. Baiklah, untuk ganache,  aku membutuhkan coklat batangan, whipped cream cair dan yang terakhir…


***


Strawberry! Yeaayy my favorite fruit inside my favorite cake! Thankyou so much, dear!” ujar wanitaku kegirangan ketika ia memotong kue tersebut.

Aku hanya bisa tertawa kecil melihat keimutannya itu. Tidak kusangka ternyata aku bisa membuat wanita yang telah menemaniku dua tahun belakangan ini tersenyum dengan mudahnya.

“Oya, aku bawain kamu novel perdanaku. Cetakkan ketiga dan udah ada tanda tangan aku didalamnya,” kata wanitaku sambil menyodorkan sebuah buku berjudul ‘Chocolate’ disampulnya.

“Cetakkan ketiga? Kenapa harus ketiga? Lagipula kan aku maunya beli novel kamu. Bukannya seorang penulis senang ketika novelnya dibeli oleh pembaca?” tanyaku heran.

“Jadi, cetakkan pertama untukku, kedua untuk orang tuaku, ketiga untukmu dan keempat untuk sahabatku, Therre. Agak bingung sih antara ketiga dan keempat. Tapi berhubung kamu juga ikut bantu aku waktu buat buku ini dengan memberikan resep chocolate cake-mu, jadi aku kasih cetakan ketiga untuk kamu. Aku mau orang-orang spesialku dapet bukunya langsung dari aku, bukan beli,” jelasnya sambil menyuapkan kue potongannya ke mulutku. “Aku bahkan sampai hapal loh cara buat kuenya,” lanjutnya lagi.

“Apa aja coba?” tantangku.

“Tinggal campur aja semuanya, terus dimasukin ke oven. Hahaha..” canda wanitaku.

“Yeeh kamu ya. Pokoknya gini, pertama masuk dan campur terigu, gula, garam secukupnya, coklat bubuk, baking powder dan baking soda. Terus masukin adonan ke loyangnya, loyangnya masukin deh ke ovennya. Nah untuk tahu dalam adonannya sudah matang atau belum, tusuk aja pakai lidi. Selanjutnya bikin ganache-nya. Pokoknya, untuk chocolate cake favoritmu, jangan lupa pakai strawberry. Iya kan?” jelasku yang diabaikan oleh wanitaku yang agak kurang suka memasak ini.

“Kayaknya kamu gak dengerin ya? Padahal tadi aku loncat beberapa langkahnya loh. Tapi aku masih heran deh, kenapa sih kamu suka banget sama chocolate cake? Nanti kalau diabetes gimana?,” kataku lagi sambil mengelap ujung bibirnya yang berlumuran coklat.

Wanitaku diam sejenak, matanya menerawang ke langit-langit rumahku tapi mulutnya tidak bisa berhenti mengunyah kue.

“Karena…”


***


“Hampir semua yang hadir disini masa kecilnya pernah diwarnai dengan hal-hal yang manis seperti coklat dan permen. Tapi jujur saja saya tidak terlalu tahu banyak tentang bahan makanan yang menggunakan permen, jadi saya memakai coklat,” jawabku ketika juri menanyakan alasanku memakai coklat sebagai bahan utama.

“Kamu tahu, kamu adalah satu-satunya finalis di ruangan ini yang tidak pernah ikut dalam les ataupun pelajaran memasak. Dari sekian banyak makanan yang kamu tahu, kenapa kamu membuat bolu? Padahal waktu yang diberikan hanya 90 menit, akan terlalu berisiko ketika kamu memanggang adonan ini dan gagal,” kata juri sambil memotong kue yang sekitar 15 menit yang lalu telah aku selesaikan.

“Ya, saya tahu betapa berisikonya membuat hidangan ini. Tapi ketika saya mencampur dan membuat adonannya, saya membayangkan orang-orang yang akan memakan kue ini. Saya membayangkan mereka begitu menikmati rasa chocolate cake ini. Kemudian ketika saya menghias kue ini, saya membayangkan orang-orang yang memilih atau menerima kue ini begitu tertarik dengan hiasan-hiasan yang ada,” aku menghela nafas. “Dan yang terakhir ketika kue ini sudah jadi, saya membayangkan wajah orang-orang yang akan memakan kue ini, entah dengan perasaan senang, haru, atau malah sedih. Karena kue bisa mengartikan apa saja, tidak perlu dimakan disaat kita hanya merayakan ulang tahun atau pesta.”

Dahi para juri kali ini mengerenyit, entah karena rasa kuenya atau penjelasanku tadi yang agak aneh bagi mereka.

“Saya agak jarang mendengar sebuah cake, terutama chocolate cake diartikan sebagai sebuah kesedihan. Ditambah lagi didalam kue ini kita bisa menemukan potongan stroberi didalamnya. Apakah kamu pernah merasakan kesedihan ketika memakan kue ini?” tanya juri yang sukses membuatku kaget.

“Ya, saya pernah. Kue perpisahan saya dengan seseorang yang begitu menyukai chocolate cake saya,” jawabku sekenanya, takut-takut aku malah bercerita masalah pribadiku di depan para juri dan para penonton.

Tiga puluh menit berikutnya, setelah juri menilai dan memuji rasa chocolate cake buatanku, juri menetapkan aku sebagai pemenangnya.

Gemuruh tepuk tangan dari penonton, juri dan bahkan finalis lain yang merupakan sainganku memenuhi aula kompetisi hari ini. Balon-balon dan confetti ikut memeriahkan aku yang ditunjuk sebagai pemenang. Tapi ditengah-tengah kebahagiaanku ditunjuk sebagai pemenang, aku merasakan sesuatu yang kosong.

Aku merindukan penggemar chocolate cake-ku. Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu ataupun berkomunikasi dengannya. Aku terlalu takut dan bodoh meminta maaf dan menyesal membiarkannya pergi. Menghalang-halanginya pergi ke benua lain untuk mencapai mimpinya menjadikan novel kebanggaannya sebagai sebuah film, aku rasa aku bukan pria yang baik.

“Rey!” sebuah suara tak asing memanggilku ketika aku berada di balik panggung. Aku menengok kemudian hambur ke dalam pelukannya.

“Selamat ya anakku, akhirnya kamu bisa mencapai cita-citamu jadi seorang chef. Hebat kamu bisa melewati perjalanan yang cukup panjang di kompetisi ini,” kata ibuku yang ternyata menonton langsung kompetisi hari ini. Maklum, beliau adalah seorang pengusaha yang cukup sibuk.

“Iya, makasih ya, Bu. Ini semua berkat ibu kok,” kataku sambil menyerahkan sebuket bunga yang tadi kuterima diatas panggung.

“Makasih ya, nak. Sekarang ibu tinggal nunggu menimang cucu nih,” goda ibuku sambil mengusap-ngusap rambutku.

“Hahaha..jodohnya aja gak tahu Bu ada dimana sekarang,” jawabku miris.

“Oh, jadi kamu gak mau nikah sama aku?”

Aku menengokkan kepalaku kearah sumber suara. Pemilik suara itu…mungkinkah…penggemar chocolate cake-ku?







Happy (belated) Valentine Day!