“Selamat datang kepada para finalis kontes memasak hari ini. Hari ini merupakan hari penentu kalian, apakah kalian bisa manjadi salah satu bagian dari Luxurious Restaurant ini. Pada hari ini kalian dibebaskan memasak apapun dalam waktu 90 menit, tapi masakan kalian diwajibkan membawa rasa terhadap kenangan masa lalu. Para finalis dipersilahkan mengambil bahan makanan di rak-rak yang telah tersedia. Untuk mempersingkat waktu, kompetisi ini akan dimulai pada hitungan saya yang ketiga. Para finalis siap? Satu, dua, tiga!”
***
“Doorrr!” seorang wanita memelukku dari belakang dan sukses mengagetkanku.
“Astaga! Kok kamu bisa masuk?” tanyaku terkejut, tidak menyangka wanitaku sudah berdiri dibelakangku.
“Kamu sih terlalu konsentrasi bikin kuenya. Aku dari tadi ketuk-ketuk pintu rumah kamu tahu, tapi gak ada yang jawab. Untung pintunya gak di kunci, jadi ya aku masuk aja,” ujar wanitaku ini sambil melonggarkan pelukannya dan berdiri disampingku.
“Oya? Maafkan aku. Soalnya aku kan lagi bikin kue spesial di hari yang spesial untuk orang yang spesial pula,” godaku sambil menyentuh hidung mancungnya itu.
“Hahaha…aku gak tahu harus tersanjung atau geli. Jadi, chocolate cake-ku sudah siap? Yuk, makan. Aku bawain kamu jus nih,”
***
Aku dan para finalis lain berlari secepat mungkin kearah rak-rak bahan makanan sambil menenteng keranjang. Aku secepat mungkin memasukkan bahan-bahan yang aku butuhkan ke keranjangku: terigu, telur, coklat bubuk, gula, garam, baking soda dan baking powder. Apalagi ya? Entahlah. Otakku selalu buntu jika harus dikejar waktu. Baiklah, untuk ganache, aku membutuhkan coklat batangan, whipped cream cair dan yang terakhir…
***
“Strawberry! Yeaayy my favorite fruit inside my favorite cake! Thankyou so much, dear!” ujar wanitaku kegirangan ketika ia memotong kue tersebut.
Aku hanya bisa tertawa kecil melihat keimutannya itu. Tidak kusangka ternyata aku bisa membuat wanita yang telah menemaniku dua tahun belakangan ini tersenyum dengan mudahnya.
“Oya, aku bawain kamu novel perdanaku. Cetakkan ketiga dan udah ada tanda tangan aku didalamnya,” kata wanitaku sambil menyodorkan sebuah buku berjudul ‘Chocolate’ disampulnya.
“Cetakkan ketiga? Kenapa harus ketiga? Lagipula kan aku maunya beli novel kamu. Bukannya seorang penulis senang ketika novelnya dibeli oleh pembaca?” tanyaku heran.
“Jadi, cetakkan pertama untukku, kedua untuk orang tuaku, ketiga untukmu dan keempat untuk sahabatku, Therre. Agak bingung sih antara ketiga dan keempat. Tapi berhubung kamu juga ikut bantu aku waktu buat buku ini dengan memberikan resep chocolate cake-mu, jadi aku kasih cetakan ketiga untuk kamu. Aku mau orang-orang spesialku dapet bukunya langsung dari aku, bukan beli,” jelasnya sambil menyuapkan kue potongannya ke mulutku. “Aku bahkan sampai hapal loh cara buat kuenya,” lanjutnya lagi.
“Apa aja coba?” tantangku.
“Tinggal campur aja semuanya, terus dimasukin ke oven. Hahaha..” canda wanitaku.
“Yeeh kamu ya. Pokoknya gini, pertama masuk dan campur terigu, gula, garam secukupnya, coklat bubuk, baking powder dan baking soda. Terus masukin adonan ke loyangnya, loyangnya masukin deh ke ovennya. Nah untuk tahu dalam adonannya sudah matang atau belum, tusuk aja pakai lidi. Selanjutnya bikin ganache-nya. Pokoknya, untuk chocolate cake favoritmu, jangan lupa pakai strawberry. Iya kan?” jelasku yang diabaikan oleh wanitaku yang agak kurang suka memasak ini.
“Kayaknya kamu gak dengerin ya? Padahal tadi aku loncat beberapa langkahnya loh. Tapi aku masih heran deh, kenapa sih kamu suka banget sama chocolate cake? Nanti kalau diabetes gimana?,” kataku lagi sambil mengelap ujung bibirnya yang berlumuran coklat.
Wanitaku diam sejenak, matanya menerawang ke langit-langit rumahku tapi mulutnya tidak bisa berhenti mengunyah kue.
“Karena…”
***
“Hampir semua yang hadir disini masa kecilnya pernah diwarnai dengan hal-hal yang manis seperti coklat dan permen. Tapi jujur saja saya tidak terlalu tahu banyak tentang bahan makanan yang menggunakan permen, jadi saya memakai coklat,” jawabku ketika juri menanyakan alasanku memakai coklat sebagai bahan utama.
“Kamu tahu, kamu adalah satu-satunya finalis di ruangan ini yang tidak pernah ikut dalam les ataupun pelajaran memasak. Dari sekian banyak makanan yang kamu tahu, kenapa kamu membuat bolu? Padahal waktu yang diberikan hanya 90 menit, akan terlalu berisiko ketika kamu memanggang adonan ini dan gagal,” kata juri sambil memotong kue yang sekitar 15 menit yang lalu telah aku selesaikan.
“Ya, saya tahu betapa berisikonya membuat hidangan ini. Tapi ketika saya mencampur dan membuat adonannya, saya membayangkan orang-orang yang akan memakan kue ini. Saya membayangkan mereka begitu menikmati rasa chocolate cake ini. Kemudian ketika saya menghias kue ini, saya membayangkan orang-orang yang memilih atau menerima kue ini begitu tertarik dengan hiasan-hiasan yang ada,” aku menghela nafas. “Dan yang terakhir ketika kue ini sudah jadi, saya membayangkan wajah orang-orang yang akan memakan kue ini, entah dengan perasaan senang, haru, atau malah sedih. Karena kue bisa mengartikan apa saja, tidak perlu dimakan disaat kita hanya merayakan ulang tahun atau pesta.”
Dahi para juri kali ini mengerenyit, entah karena rasa kuenya atau penjelasanku tadi yang agak aneh bagi mereka.
“Saya agak jarang mendengar sebuah cake, terutama chocolate cake diartikan sebagai sebuah kesedihan. Ditambah lagi didalam kue ini kita bisa menemukan potongan stroberi didalamnya. Apakah kamu pernah merasakan kesedihan ketika memakan kue ini?” tanya juri yang sukses membuatku kaget.
“Ya, saya pernah. Kue perpisahan saya dengan seseorang yang begitu menyukai chocolate cake saya,” jawabku sekenanya, takut-takut aku malah bercerita masalah pribadiku di depan para juri dan para penonton.
Tiga puluh menit berikutnya, setelah juri menilai dan memuji rasa chocolate cake buatanku, juri menetapkan aku sebagai pemenangnya.
Gemuruh tepuk tangan dari penonton, juri dan bahkan finalis lain yang merupakan sainganku memenuhi aula kompetisi hari ini. Balon-balon dan confetti ikut memeriahkan aku yang ditunjuk sebagai pemenang. Tapi ditengah-tengah kebahagiaanku ditunjuk sebagai pemenang, aku merasakan sesuatu yang kosong.
Aku merindukan penggemar chocolate cake-ku. Sudah hampir dua tahun aku tidak bertemu ataupun berkomunikasi dengannya. Aku terlalu takut dan bodoh meminta maaf dan menyesal membiarkannya pergi. Menghalang-halanginya pergi ke benua lain untuk mencapai mimpinya menjadikan novel kebanggaannya sebagai sebuah film, aku rasa aku bukan pria yang baik.
“Rey!” sebuah suara tak asing memanggilku ketika aku berada di balik panggung. Aku menengok kemudian hambur ke dalam pelukannya.
“Selamat ya anakku, akhirnya kamu bisa mencapai cita-citamu jadi seorang chef. Hebat kamu bisa melewati perjalanan yang cukup panjang di kompetisi ini,” kata ibuku yang ternyata menonton langsung kompetisi hari ini. Maklum, beliau adalah seorang pengusaha yang cukup sibuk.
“Iya, makasih ya, Bu. Ini semua berkat ibu kok,” kataku sambil menyerahkan sebuket bunga yang tadi kuterima diatas panggung.
“Makasih ya, nak. Sekarang ibu tinggal nunggu menimang cucu nih,” goda ibuku sambil mengusap-ngusap rambutku.
“Hahaha..jodohnya aja gak tahu Bu ada dimana sekarang,” jawabku miris.
“Oh, jadi kamu gak mau nikah sama aku?”
Aku menengokkan kepalaku kearah sumber suara. Pemilik suara itu…mungkinkah…penggemar chocolate cake-ku?
Happy (belated) Valentine Day!